Blog dan Kehidupan Pribadi

▒ Lama baca < 1 menit

Dalam batas apa sebuah personal journal bisa mengungkapkan apa saja untuk khalayak?

Aku merenung, aku menimbang. Jika seseorang kesal terhadap orang terdekatnya, atau pernah jadi si terdekat, bolehkan itu diungkap dalam blog pribadi?

Kalau hanya “bolehkah”, tentu boleh.

Pantaskah, dan dengan cara macam apakah? Beda orang beda takaran. Beda hati beda timbangan.

Jika seseorang telah dewasa maka dia harus siap menuai tanggung jawab, termasuk dari apa yang dilakukan di blognya. Blog yang secara nyata menyatakan identitas dirinya. Juga blog yang secara nyata menyebut nama orang lain dalam tulisan yang negatif.

Bagaimana jika orang lain yang dikeluhkan itu terlukai hatinya, karena merasa dipermalukan, bahkan teraniaya oleh rentetan teks si pengabar?

Ini bukan semata persoalan blog. Ini persoalan hubungan di antara dua orang atau lebih, dengan segala masalah internalnya, yang dibuka kepada umum.

Selalu berkemungkinan ada yang dirugikan. Dan yang merasa dirugikan belum tentu punya counter blog selayaknya pihak yang bersengketa dalam organisasi.

Tak mudah mengatakan, “Balas dong!” Dalam urusan pribadi, apalagi sangat pribadi, dengan derajat didih yang mengaduk emosi dan mengudak keseimbangan diri, tak semua orang dapat mengungkapkan isi hatinya melalui tulisan untuk konsumsi publik. Bahkan untuk tulisan yang meluruskan, yang menjelaskan, yang membela diri…

Tiba-tiba ada rasa bersalah dalam diriku, sebagai lanjutan rasa tak nyaman dan prihatin mengikuti post demi post. Kebetulan saja pelakunya bukan seleb dalam pengertian bintang hiburan. Tapi mengikuti itu semua rasanya seperti membaca sajian infotainment. Hanya saja isinya tak diolah oleh media melainkan oleh pelakunya sendiri.

Apa bedanya aku dengan penguping konflik tetangga?

Ini berbeda dari membaca memoar yang mengungkap peristiwa lama, bahkan luka lama, tapi ketika kita membacanya itu semua sudah berlalu, bahkan bukan tidak mungkin sudah teratasi.

Yang ini beda. Proses masih berlangsung. Sebuah jurnal pribadi menjadi laporan progres. Tak cukupkah dengan menyatakan, “Ada masalah di antara kami yang belum mencapai titik temu dan sedang dalam proses penyelesaian”?

Aku prihatin. Sangat prihatin. Aku hanya bisa berharap semuanya akan terselesaikan melalui kompromi yang bisa men(y)enangkan masing-masing pihak, terutama pihak yang paling lemah, yaitu pihak yang masih butuh bimbingan dan perlindungan.

Aku tak menyalahkan siapa pun. Aku hanya mencoba be(r)cermin. Aku juga mencoba membayangkan jika itu terjadi pada diriku. Apakah aku bisa sedingin, seberjarak, dan sesoktahu ini, seolah menjadi si wicaksana penuh pengalaman hidup yang melantunkan petikan lirik lama Genesis, “I have crossed between the poles”?

Tinggalkan Balasan