5 Meter: Seberapa Jauh? Seberapa Dekat?

▒ Lama baca < 1 menit

BERURUSAN DENGAN ANGKA YANG MEMBINGUNGKAN.

petunjuk di sekitar atma jaya

“Ah cuma lima meter,” saya membatin. Berarti sehabis pengkolan akan bertemu tukang ojek mangkal. Ternyata tidak. Saya menjumpai papan petunjuk yang sama.

Pengertian “lebih-kurang” yang diwakili oleh simbol ± ternyata relatif. Bisa lebih belasan meter, seperti yang terbukti di dekat kampus Unika Atma Jaya, belakang Plaza Semanggi, Jakarta. Pangkalan ojeknya ternyata agak jauh.

Seberapa jauh? Saya tak dapat menaksir. Mungkin karena pengenalan spasial saya payah. Tapi itu bukan masalah. Yang penting pangkalannya terlihat, kan?

petunjuk di sekitar atma jaya

Tidak semua dari kita dapat menaksir dimensi mendekati tepat. Maka untuk jarak aman, Jasa Marga sampai bikin contoh di jalan tol. Bermula dari titik 0 meter, kemudian 50 meter, dan akhirnya 100 meter.

Terukur dan terbukti, itu bagus. Tapi dalam kehidupan sehari-hari kadang sulit. Beda reporter beda ukuran. Beda blogger beda amatan. Yang satu bilang jaraknya 100 meter, yang lainnya bilang 200 meter. Belum lagi jika menyangkut jumlah penonton suatu acara.

Deskripsi wartawan Tempo, yang melaporkan panjang tumpukan kayu sitaan di Riau, itu bisa buat contoh kelas jurnalistik. Dengan sebuah motor baru (tanpa menyebut merek), tripmeter disetel nol, lalu kendaraan dijalankan 30 km/jam, butuh “sekitar setengah jam” untuk melewati tumpukan kayu itu (edisi 16 September 2007, hal. 28).

Masih ada tambahan simplifikasi yang bagus. Editornya menulis, bila kayu dijejerkan sejak Istana Negara maka akan berakhir di Blok M. Cocok untuk pembaca di Jakarta. :D

Ketika berurusan dengan angka kita memang butuh perbandingan. Maka sungguh menyenangkan jika para guru selalu memakai itu. Misalnya laju penggundulan hutan kita yang setiap 12 detik seluas satu kali lapangan bola. Sayang banyak guru lupa melakukannya.

Saya dulu, semasa bocah, sulit sekali membayangkan “satu kilometer” dan “satu jam”. Terutama bila blusukan ke pedesaan dan menanya jarak tempuh kepada seseorang. “Sakrokokan” atau “seperokokan” pun membingungkan karena kami, anak-anak, belum merokok. Setelah mengenal rokok, ternyata durasi isap setiap orang berbeda — tergantung pada jenis rokoknya pula.

Menyangkut angka, jika magnitudanya melebihi nalar dan kebutuhan, maka kita cenderung mengatakan “pokoknya gede”. Hutan hilang. Kemplangan BLBI. Persentase anggaran bocor. Jumlah korban kerusuhan politik dan bencana alam. Dan entah apa lagi, silakan Anda tambah sendiri.

petunjuk di sekitar atma jaya

Bonus: Jembatan Keledai untuk Murid SD

Tinggalkan Balasan