↻ Lama baca 2 menit ↬

PERIHAL PENOLAKAN TERHADAP BUS WAY.

Apa yang saya bayangkan tiga tahun lalu di blog lawas mirip gelagat hari ini. Dulu saya bayangkan warga Pondok Indah, Jakarta Selatan, menutup jalan untuk umum. Sekarang mereka menolak dilalui koridor bus way. Tak sepenuhnya menolak sih, toh mereka juga menyodorkan alternatif.

Gubernur terpilih Fauzi Bowo, yang masih menjabat wagub, bilang bahwa PI bukan negara tersendiri. Artinya harus mau diatur.

Sedangkan Gubernur Sutiyoso bilang, “Saya yakin yang keberatan itu orang kaya.” Ada juga bumbu populis: “Saya pasti menangkan kepentingan warga miskin…” Gagah, kan?

Sejujurnya saya nggak paham peta masalahnya. Saya belum mempelajarinya (hayah, kayak pejabat).

Saya tak paham perjanjian setiap pengembang perumahan (rumah mewah maupun rumah payah) dengan pemda.

Saya belum tahu apakah fasilitas milik perumahan yang dirawat sendiri itu juga berarti milik pemda.

Saya juga tak tahu, setelah semua rumah dan tanah terjual lunas, sehingga pengembang boleh cabut (tanpa serah terima ke Pemda), tanggung jawab dan kewenangan fasilitas ada di tangan siapa.

Jika menyangkut penataan fungsi bangunan, misalnya hunian tidak boleh untuk toko atau kantor, saya paham. Perda tidak membedakan kompleks perumahan swasta maupun bukan.

Lha kalau jalan? Sejauh melingkup jalan di lingkungan dalam, warga dan pengembang “boleh” membuka-tutup — bahkan “kalau perlu” memasang gerbang setinggi tiga meter.

Itu sesuatu yang umum setelah Kerusuhan Mei 98. Misalnya di Pluit dan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Oh ya, juga di sebagian Kota.

Nah, jalan utama kompleks besar yang menjadi penghubung antarkawasan, sehingga boleh/bisa dilintasi oleh setiap orang kapan saja, itu milik siapa?

Saya belum tahu payung hukumnya. Bisa saja “rasa perikeadilan” mengalahkan legalitas. Prinsip oportunitas, bahwa kepentingan mayoritas warga adalah segalanya, bisa saja dirujuk.

Kawasan PI bercitra (dan memang bersosok) elitis — padahal ada juga rumah tipe biasa di dalam. Penolakan oleh orang makmur akan dianggap sebagai kesombongan sosial (kesian juga jadi orang kaya).

Taruh kata — ini baru misal (untunglah tidak) — mayoritas penghuni adalah (maaf) suku Cina, superkaya pula, maka sentimen rasial bisa ditiupkan, tapi masalah dasar diabaikan. Itu lho masalah payung hukum.

Bagaimana jika warga sebuah perumahan kelas payah menolak rencana tertentu pemda?

Mungkin tak akan kencang kontroversinya. Padahal bisa saja di dalamnya ada Cinanya juga. Artinya “pasal Cina” tidak siginifikan (pengamat dan politikus doyan istilah “signifikan”, kan?).

Setiap masalah berkemungkinan menjadi peka jika ras dan kemakmuran digabung lalu dipertentangkan dengan (apa yang diyakini sebagai) kepentingan publik.

Sekusut itukah Jakarta? Yah, desa besar ini tumbuh bukan dengan perencanaan seperti kota baru yang modern. Jalan penghubung pendek antarkawasan kadang tak terpikirkan.

Mungkin saat pemberian konsesi kepada pengembang, hal itu sudah masuk dalam perjanjian. Di sisi lain pengembangan juga berkepentingan dengan aksesibilitas dan ehm… tanggung jawab so(k)sial. Tapi bisa juga tanpa perjanjian.

Gimana nasib bus way di PI? Kayaknya sih bakal ada win-win solution deh (uh, sok tahu!).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *