Tol Naik, Kita Turun

▒ Lama baca 2 menit

APA BEDANYA DENGAN HIDUP ZAMAN DULU?

karcis tarif baru tol JORRSalah satu ruas jalan tol dekat rumah saya sudah naik tarif.

Yang sebelumnya cuma Rp 1.000, untuk jarak sekitar dua kilometer, beberapa hari lalu jadi Rp 6.000.

Mau cabut lewat pintu terdekat (Setu dan Cilangkap) juga sama, padahal cuma satu kilometer.

Pilihan bagi saya cuma dua. Mau masuk jalan tol dengan asa akan lancar atau harus lewat jalan di perkampungan yang kadang harus mengantre lama untuk sampai ke mulut pertigaan.

Itu tadi jalur pulang menuju rumah di luar normal, misalnya setelah mengisi bensin di dekat TMII. Kalau rute normal, yang sebelumnya Rp 3.000 (termasuk Rp 1.000 untuk ruas TMII) jadi Rp 7.000.

Orang sakti lagi bestari dalam transportasi bilang, tarif baru itu memang untuk pelintas jauh.

Alasannya, jalan tol memang untuk mereka. Bahkan menurutnya 70 persen pelintas JORR memang mengambil jarak yang panjang.

Coba kalau ternyata 70 persen adalah pelintas pendek. Lebih enak mana mengatur tarifnya?

Alasan bisa diubah, yang penting mendukung argumentasi bisnis bahwa modal harus segera balik dan alam investasi harus sexy.

Ini seperti bikin kedai. Kalau kita tahu kapasitas perut, pagu kerakusan, dan batas “mblengeritas” orang normal, bikin saja all you can eat. Salah sendiri kenapa cuma makan sepiring kecil salad dan minum air putih — padahal seperti di The Buffet ada lebih dari 30 menu.

Seberapa pun tarif naik, persoalan dasar desa besar cap megalopolitan yang mengaku The Greater Jakarta ini tetap. Sebagian pekerja terpelanting ke pinggiran. Dari tahun ke tahun kian jauh saja perumahan yang terjangkau dari segi harga. Salah sendiri kenapa tak cukup uang.

Jarak rumah saya dengan eks-kantor sekitar 35 km. Pergi-pulang 70 km. Dulu, untuk menghindari kemacetan, saya berangkat ketika anak-anak masih tidur. Saya pulang, anak-anak sudah tidur. Masih lebih mulia tua di jalur blog ketimbang tua di jalan.

Beberapa pengembang memang menyediakan apartemen yang “memurah”. Tapi, kayaknya, orang masih merindukan rumah di atas tanah — sesempit apa pun halamannya. Menaruh pot anthurium di teras rumah biasa tak akan menjatuhi kepala orang kayak di jendela apartemen (makanya dilarang).

Dalam logika kere, “Kalau rumah burung dara yang saya huni itu runtuh, saya mau bikin tenda di mana? Hak saya kan hanya eks-unit yang ada di udara?”

Ketika hunian tipe RSSSPKYA-KDL (Rumah Super-Sederhana Sekali Pisan Kebangetan, Ya Ampun — Kesian Deh Lu!) diratakan oleh gempa, penghuninya masih berhak bikin tenda atau bivak di atas tanahnya sepanjang hayat. Tinggal adu ketahanan kok. Mana yang lebih awet: raga (dan kewarasan) atau kemah?

Permukiman kian jauh dari tempat kerja. Bahkan yang mengaku sebagai kota satelit pun akhirnya gagal mewujudkan cita-citanya, setidaknya dalam satu hal: orang tetap bekerja di Jakarta. Lahir, sekolah, mati, dan dikubur, boleh di kota satelit. Tapi nafkah harus dikais jauh-jauh.

Sistem transportasi yang amat sangat buruk nian di desa besar ini akhirnya menjadikan orang tekor di perjalanan. Mau naik motor pribadi, ojek, angkutan umum, taksi, maupun mobil pribadi, persoalan mayoritas orang sama. Sebagian (besar) penghasilan (dan waktu) habis di sana. Safir Senduk maupun Panangian Simanungkalit mungkin punya data, berapa persen dari penghasilan penghuni pinggiran yang tersedot untuk transportasi.

Kalau duit dan waktu habis di jalan, kita layak mempertanyakan apa yang kita yakini sebagai modernitas. Ternyata mobilitas fisik masih mengorting kebahagiaan kita karena seperti hidup pada zaman kampung di balik bukit terakhir dengan jalan setapak penuh harimau dan begal.

Bedanya, dulu tak ada telepon dan internet. Cuma mengandalkan kontak batin semata. Entah bagaimana protokolnya.

Tinggalkan Balasan