↻ Lama baca 2 menit ↬

KUPING KITA TAK PERNAH PUAS.

hiasan di cafe gayo

Dasar kuping saya kelas abal-abal, meski mulanya risih akhirnya kebal juga oleh gemericik air dan kicau burung. Suara air dan burung itu palsu. Cuma tiruan, dipancarkan oleh sebuah rangkaian elektronik seperti yang Anda dulu bikin saat belajar elektronika.

Suara itu merupakan bagian dari paket hiasan dinding yang banyak dijual. Yaitu kotak neon bergambar pemandangan, bikinan RRC, lantas ada tombol untuk menghidup-matikan suara. Ya suara air dan burung tadi. Noise not voice.

Di tempat saya rehat itu, pengunjung lain yang datang belakangan rupanya tak tahan. Dia panggil pelayan kedai kopi, “Hoiii matiin itu suara. Berisik tau?!”

Pelayan segera bertindak. Dengan memanjat sandaran sofa dia matikan suara itu. Dia lapor, “Burungnya sudah mati, Bos! Barusan saya tembak.” Ternyata parit pun sudah dia bendung. Gemericiknya hilang.

cafe gayo

Kita mungkin akan menyebut manajemen kedai itu norak. Bukannya memasang paket Bose dengan spiker sekepalan tangan untuk pengiring seruputan tapi malah memasang kotak neon bernyanyi yang pating kresek.

Tapi bagi saya, upaya itu layak dihargai. Dengan keterbatasan dana dia sudah mencoba menghadirkan suasana alami melalui reproduksi suara.

Masalahnya, kuping manusia selalu rewel. Mereka yang kupingnya sepeka monyet, dan berduit banyak, tak sayang berboros untuk audio supaya Acoustic Alchemy serasa bermain di depan kursi malasnya, dan lain kali cello Yo-Yo Ma dimainkan di depannya, lantas lain saat petikan gitar John Petrucci dan denting piano Jordan Rudess menjadikannya sebagai penanggap duo kampiun secara privat.

Hi-fi terus berkembang. Untuk kelas tertentu harganya semakin memurah. Micro hi-fi untuk meja kerja sekarang bisa didapat dengan harga Rp 1,5 jutaan — tapi bukan Yamaha Pianocraft apalagi paket mungil bertabung dari Audio Analogue yang tanpa setelan bass dan treble itu.

Hi-fi berkembang dan kuping manusia tetap tak puas. Maka maklumilah jika ada orang melecehkan MP3, dan tak sayang duit untuk menikmati piringan hitam beserta perlengkapannya seharga lebih dari Rp 100 juta.

Padahal kalau dipikir-pikir, yang mereka kejar adalah reproduksi suara untuk disusupkan ke sepasang kuping.

Jika ingin menikmati air terjun dan kicau burung, datanglah ke tempatnya yang asali. Tapi bagaimana menikmati suara para almarhum — sejak Bing Slamet, Bing Crosby, Jim Morisson sampai Freddie Mercury — itulah masalahnya. Produk rekaman tetap dibutuhkan.

Saya? Kuping saya jelek. Kocek saya cekak. Dan saya termasuk yang nrima ing pandum, dengan risiko kena tempeleng pendulum.

NB:
Kenapa sih dunia audio selalu dihubungan dengan lelaki dan menggenapkan ledekan “boys will be boys”? Memangnya wanita kurang suka?aggregate limits loan student$20,000 fair credit loanalabama hud loanscar alaska turck loan401k loan bankruptcyauto loan 5.5bad credit loan 12000loans $900,000 Map

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *