↻ Lama baca 2 menit ↬

SIAPA YANG LEBIH MEMAHAMI KEBUTUHAN: PEMBERI ATAU PENERIMA BANTUAN?

panti asuhan savint

Maklumat panti asuhan ini di Jakarta Timur ini gamblang. Bahasanya pun bagus: tidak melayani permintaan sumbangan. Saya pernah mendapati pengumuman yang berbunyi “tidak melayani sumbangan”. Artinya si pemasang tak mau disumbang. Jadi bisa saja dia gemar menyumbang (atau meminjami). Layak didatangi dan ditagih, baik dengan gertakan maupun air mata.

Menyumbang dan disumbang. Itu bagian dari keseharian kita. Bahkan ketika seseorang hidup menyendiri di hutan atau gurun pun dia disumbang oleh alam, dan menyumbangkan sejumlah hal kepada alam.

Di jalan kita didatangi pemohon sumbangan. Misalnya di mulut jalan tol. Bahkan dalam angkot kecil sumpek sejenis Suzuki Carry pun pemohon sumbangan bisa menyeruak masuk.

Memberi atau tak memberi, dan berapa jumlahnya atau apa wujudnya, itu pasal kerelaan. Saya ingat, waktu SMA mengikuti kebaktian yang dipimpin Pendeta Brotosemedi Wirjotenojo. Menjelang kolekte dia menanya jemaat: memberi semampu Anda rela ataukah serela Anda mampu.

Memberi atau tak memberi, kadang juga diawali rasa ingin tahu. Teman saya, namanya Ijoel, pernah menanya pemohon sumbangan dalam bus: uangnya akan disalurkan ke mana. Si pembawa kotak sumbangan dan amplop, yang berpenampilan agamis, itu membentak, “Diem lu!”

Sumbang-menyumbang, sebagai bagian dari adab manusia, tak semuanya lempang dan sederhana. Ketika motif peminta dipertanyakan, maka pada sisi yang lain motif pemberi pun (boleh) disoal.

Situasi dan kondisi yang sulit bisa bikin runyam. Pada malam setelah hari pertama gempa bumi di Klaten dan Yogya tahun lalu, ayah teman saya mengantarkan bantuan dari Temanggung untuk besannya di Klaten.

Sempat ada ketegangan kecil. Tetangga besan mencegat mobil dari Temanggung, mereka ingin bantuan dibagi dulu. Baiklah kita maklumi saja, suasananya memang abnormal dan mengguncang.

Tapi dalam situasi yang secara sepihak dinilai normal pun sumbangan atau bantuan bisa mengguncang tata. Yang paling sensitif adalah jika latar belakang penyumbang (agama) dipersoalkan. Yang dianggap berlebihan adalah jika (calon) penerima sumbangan atau bantuan ingin kepastian apakah di budiman dan budiwati itu koruptor.

Sumbang-menyumbang, karena keliru tafsir, juga bisa membuahkan situasi anekdoktal. Seorang yang berhati mulia merasa iba melihat anak-anak sebuah keluarga membaca buku usang dan majalah lawas. Esoknya dia mengirimkan buku-buku baru dan majalah gres yang menurutnya lebih bermanfaat.

Yang dia tak tahu, keluarga itu sudah memiliki barang cetakan serupa yang dia kirimkan, bahkan melanggani majalah dan koran melebihi pemberi. Yang juga dia tak tahu, keluarga itu memang memiliki khazanah pustaka yang hebat, bahkan naskah kuno pun ada.

Bener nih? Oh tidak. Itu hanya contoh fiktif. Niat baik kita tak selamanya bersambut sesuai harap. Tapi itu masih mendingan daripada niat kita minta sumbangan (tepatnya: bantuan) seringkali tak dipercaya.

Bankir konservatif (harus prudent dong) doyan memberikan pinjaman kepada orang yang kaya. Muhammad Yunus dan Grameen Bank memilih mengutangi orang-orang yang tak punya agunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *