KENANGAN DAN OPTIMISME TENTANG INDONESIA.
Dulu saya masih bocah kelas 3-4 SD yang kadang ditugasi Ibu membuatkan teh dan menghidangkannya kepada tamu, antara lain dia. Kemudian saya bertemu dengannya lagi setelah saya dewasa, jadi orang tua dan orangtua. Orang itu adalah Profesor (emeritus) Nico G. Schulte Nordholt, salah satu pemerhati Indonesia.
Saya bisa kontak dia karena internet. Tepatnya melalui blog Merlyna yang menyebut nama Pak Nico. Pekan lalu dia ada di Jakarta dan jadilah kami bertemu. “Anda seperti ayah Anda,” katanya.
Malam itu dia mengenakan syal tenun dari tanah kelahirannya, nun di Timor sana. Itu pula bahan untuk meledek saya apakah sebagai anak Pak N.D. saya hapal seluruh kabupaten di Indonesia.
Dalam usia 67 dia masih gagah. Wajahnya tak banyak berubah. Saya tak sangka ketika melihat dia pertama kali dulu itu sebetulnya dia masih 30 tahun.
Lelaki jangkung dengan VW kodok putih itu datang ketika belum semua orang Indonesia punya TV, dan dia pun (tampaknya) tidak. Bolak-balik ke negeri ini menjadikannya paham perubahan sosial di Indonesia, dari (mungkin) penerapan klompencapir sampai (pasti) adopsi internet.
Di Salatiga orang-orang memanggilnya Pak Schulte, dengan lafal Jawa “pak se-kul-te”. Kalau saja tahu riwayat marga Schulte Nordholt di Nederland sana mungkin mereka akan memanggilnya “Pak Jagawana”.
Salatiga. Jawa. Indonesia. Ada beberapa anekdot tentang hubungannya dengan keluarga saya yang menjadi jendela awal pemahamannya tentang kultur Jawa dan Indonesia. Hal-hal itu membuat kami malam itu terbahak bersama. Begitu pula nyamuk semprul yang merubung kami, sehingga beberapa kali dia mengolesi wajah dengan lotion antinyamuk.
Yang malam itu lupa saya ingatkan kepadanya adalah pada suatu hari libur anak-anak dilarang oleh Bapak untuk gaduh. Pagi sampai selewat tengah hari, di ruang kerjanya, Bapak sedang memberi kursus kilat bahasa Jawa kepada seorang landa (baca: londo). Si meneer membawa tape recorder model reel (bukan kaset kompak). Bahasa Jawa jelas diperlukan seorang peneliti di Tanah Jawa.
Dasar peneliti, malam itu Pak Nico mengajukan sejumlah pertanyaan selayaknya wawancara. Inti jawaban saya: meski mendebarkan, saya masih punya optimisme tentang Indonesia.
Termasuk dalam mendebarkan itu adalah eksperimen demokrasi, kencenderungan sektarian di sana-sini, hubungan patron-client penguasa dengan underworld, dan kesempatan belajar (lagi) bagi orang Indonesia untuk berkompromi.
Tentu saya juga punya bumbu gombal: kalau calon independen dalam pilkada memberi kesempatan kepada bandit untuk ikut, maka masih ada sejumlah akal waras untuk mengajukan calon yang bukan bandit (tapi juga bukan malaikat).
Malam itu saya menelepon Ibu saya dan bilang sedang bertemu orang yang sangat dikenalnya. Lalu ponsel saya angsurkan kepada Pak Nico. Ibu saya girang.
Siang tadi, dari Yogya, dengan suara riang Ibu saya mengabarkan bahwa Pak Nico sedang mengunjunginya.