MENYAMBUT PILGUB 2007.
Kata “pinggiran” ini salah dan sok Jakarta. Saya tinggal di luar DKI. Jadi silakan Anda ganti jadi “orang luar”.
Itu tadi kalau pakai pendekatan administratif: hanya pemegang KTP cap Monas yang bisa disebut sebagai warga Jakarta. Sedangkan pemegang KTP cap ikan lele, di mata penguasa DKI, hanyalah kaum periferal yang mengaku diri sebagai bagian dari megalopolitan cap “the Greater Jakarta”.
Maka terhadap pemilihan gubernur, saya hanya bisa berkata selayaknya retorika politikus cap kampret: antara berkepentingan dan tidak berkepentingan.
Mestinya saya tidak berkepentingan karena saya bukan warga DKI Jakarta. Bahwa dalam soal tertentu saya menjadi bagian dari beban Jakarta, misalnya saat pipis di toilet mal, itu masalahnya DKI, bukan saya.
Di sisi lain saya juga berkepentingan karena suka tak suka saya mengais nafkah dari Jakarta — dan menyekolahkan dua anak di Jakarta. Uang saya dapat dari pemilik duit yang NPWP-nya berlokasi di Jakarta. Saya menggunakan jalan dan jembatan penyeberangan yang dibangun dengan anggaran provinsi.
Tentu saya juga memberikan kontribusi dengan bayar parkir yang duitnya — secara teoritis — masuk ke kas DKI. Saya membayar pajak saat ngopi yang duitnya semoga juga masuk ke DKI.
Baiklah, anggap saja saya sebagai tamu. Bukan tamu gratisan secara abadi. Tamu yang (kadang) ikut menyesaki kota pada siang hari.
Saya adalah tamu yang juga bawa sekadar receh untuk dikembalikan ke Jakarta, dan dengan itu pula roda ekonomi berputar. Maksud saya kalau manusia kelas receh seperti saya itu dikumpulkan.
Maka bolehlah saya mengangankan Jakarta yang bersih, aman, ramah, dan memanusiakan orang.
Sampai di sini, urusannya jadi aneh. Sudi tak sudi, dalam urusan tertentu saya terpaksa hirau siapa yang bakal jadi gubernur.
Hanya saja kalau melihat kampanye para kandidat, saya mendapati kekonyolan. Baik kekonyolan politik maupun “kekonyolan sipil”.
Kekonyolan politik tampak dari jualan masing-masing kandidat. Fauzi Bowo mengedepankan keragaman etnis, agama, dan kultural Jakarta. Tapi sejauh saya tangkap, Adang Dorojatun — siapa pun partai pencalonnya — tak mengedepankan menu sektarian semacam “pemberlakuan syariat Islam untuk semua orang”.
Jadi, tangkisan Fauzi itu untuk apa dan siapa? Kubu Adang malah lebih doyan meledek Fauzi yang birokrat dan ahli tapi gagal dan kurang tegas.
Adapun “kekonyolan sipil” itu, tampak dari cara mereka menyebarkan atribut visual kampanye. Saya bisa jamin tidak semuanya akan bisa dienyahkan oleh petugas kebersihan.
Lihatlah bagaimana tim kampanye setiap kandidat mengotori properti umum dan bahkan properti pribadi (misalnya pagar rumah). Itu cerminan cara mereka melihat kehidupan bermasyarakat dan menempatkan hak warga. Diperlukan sebuah blog piktorial khusus bertajuk “(Not) Art in Public Space: Jakarta Gubernatorial Campaign 2007”
Selamat mencoblos untuk Anda pemilik KTP cap Monas. Selamat menikmati hari libur besok (bagi yang dapat).
NB: Semoga mereka bayar pajak stiker, spanduk, baliho, dan poster ke kas Dinas Pendapatan DKI.tgp movie xxxmovies rape xxxsex movies xxx ratedunion xxx state the movie ofblack movies girls pussy youngmovie youngmovie 11:14movie porn 3dabi titmus movie hardcorelistening movie active examples