↻ Lama baca 2 menit ↬

TERUS BAGAIMANA MESTINYA YA?

kucing mangga dua squareKemarin siang, di kompleks ruko yang sepi itu, dia santai menyeberang. Tanpa menengok kanan-kiri. Tampaknya dia tak takut terlindas ban mobil.

Siapa namanya saya tak tahu. Orang-orang di Mangga Dua Square, Jakarta, lingkungan ruko itu, juga tak tahu. Bahkan mereka tak peduli. Menyapa pun tidak.

Hanya seekor kucing liar kurus korengan, yang bertandang dari tong ke tong sampah. Siapa juga yang peduli? Manusia saja masih banyak yang belum terurus, eh kok harus mengurusi si pus. Kesian juga — ya kucingnya, ya manusianya.

Saya? Sejujurnya, saya kurang menyukai kucing. Bahkan kadang dibikin jengkel oleh kucing liar tapi katanya punya majikan. Mungkin sama tak sukanya orang tertentu terhadap anjing, dengan alasan masing-masing.

Meski kurang suka, tak ada alasan bagi saya untuk menyambit kucing begitu saja. Kalau itu saya lakukan sama saja anehnya dengan pengganggu anjing yang melempari anjing diam, atau setidaknya menggodanya agar menyalak, tapi ketika ditanya apa maksudnya hanya nyengir. Paling jauh saya hanya menghalau kucing agar enyah. Cukup dengan suara dan bahasa tubuh.

kucing mangga dua square

Kucing tak menggigit manusia — kecuali mungkin terdesak.Karena itulah kucing dianggap jinak dan boleh dibiarkan berkeliaran. Si empunya, atau yang merasa punya, atau yang merasa pernah atau sempat memiaranya, boleh mengabaikan kucing beserta anak-anaknya.

Maka di setiap tempat ada saja kucing liar. Lebih banyak daripada kucing manis bersih sehat yang terawat dan terjaga.

Di pasar, jelas banyak kucing. Pasar ikan? Pasti ada. Malah ada yang gemuk — tapi jorok. Saya tak tahu adakah kucing yang pernah diajak nelayan melaut. Kayaknya asyik juga buat bahan cerita.

Di rumah sakit tertentu juga ada kucing liar. Sebagian dari mereka gemuk. Dulu, waktu masih bocah, saya mendapat kabar bohong bahwa kucing-kucing itu makan buangan pascabedah. Hih!

Suatu senja, akhir bulan lalu, saya memeriksakan anjing saya ke dokter hewan yang bukan keponakan. Setiba di tujuan, istri saya dan sepupunya turun. Saya mengepaskan parkir mobil.

Saat maju-mundur itulah terdengar meang-meong kecil. Istri saya mengira saya pakai nada dering baru. Ketika saya berhenti, dia membungkuk. “Lho, kok ada kucing turun dari bagian bawah mobil?” tanyanya.

kucing menumpang

Suara meong kecil itu sempat saya dengar siangnya. Bahkan saya sempat membaui kotorannya menguar di sekitar rumah. Tapi ketika saya cek carport — umumnya kucing bermalasan di kolong mobil — tak ada siapa pun.

Saya tak tahu bagaimana si kecil itu bisa ikut saya pergi. Saya tak tahu bagian bawah mana dari mobil pendek yang dia gantungi. Ajaib juga. Yang pasti setelah ndeprok di tanah dia tampak melemas, suaranya makin lirih. Tak tega saya.

Seterusnya, tentu saja, jadi urusan Mbak Dokterkewan berambut merah. Meski tak dilapori, begitu telinganya mendengar meongan dia langsung menanya temannya, “Kucing siapa tuh?”

Menurutnya, ada saja orang yang membuang kucing ke rumahnya. Jangan-jangan dia menganggap saya salah satu pembuang. Siapa tahu cerita kucing nggandul mobil itu rada kurang masuk akal baginya. Begitu juga bagi Anda. :)

PR:
1. Ada yang tahu kenapa lelaki sering diibaratkan kucing?

2. Sebutan kesayangan kucing, dalam bahasa Inggris, ujung-ujungnya juga dihubungkan dengan pria. Kenapa ya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *