KADO, SARIMBIT, DAN TAMU SINGKAT.
Kalau dijejerkan berdiri, kumpulan undangan resepsi pernikahan yang saya terima selama Juni-Juli, baik dari dalam maupun luar kota, itu bisa menyaingi deretan buku.
Maklumlah, undangan sekarang umumnya tebal-tebal dan buku-buku saya kebanyakan memang tipis — bahkan ada yang lebih tipis dari undangan masa kini.
Begitulah, sekarang lagi musimnya orang menikah. Sebelumnya saya pikir, banyaknya pernikahan pada tengah tahun itu karena membarengi libur sekolah sehingga lebih mudah mengumpulkan keluarga besar.
Ternyata tidak. Ketika anak-anak sudah masuk sekolah pun masih banyak orang merayakan pernikahannya. Mungkin karena jadwal sewa gedungnya dapat belakangan. Maklumlah, pemesanan gedung bisa setahun sebelumnya.
Duduk manis
Tentang resepsi, ada saja yang menarik. Misalnya resepsi di gedung dengan mendudukkan tamu, dan hidangan pun mengalir mengikuti USDEK. Ini jargon Bung Karno yang dipelesetkan menjadi unjukan, sop, dhaharan, es, kundur (Jawa: minuman, sup, makanan, es, pulang).
Lama saya tak merasakan jagong (artinya duduk) di function hall, bukan di rumah, dengan cara seperti itu. Gayeng juga.
Kalau orang Jawa bilang “(n)jagong” untuk menghadiri resepsi, tampaknya bermula dari duduk bareng yang menyusahkan untuk berhandai-handai dengan siapa pun kecuali berpindah kursi.
Bagusnya, jagong model begini ini membuat kita dapat kenalan baru karena masing-masing pihak sama kikuknya bersanding dengan orang asing.
Sebagian orang Salatiga dan Semarang menyebut (n)jagong pengantin maupun sunatan sebagai “nyumbang”. Memang, datang ke perhelatan berarti menyumbang.
Uang, bukan barang
Tentang sumbangan atau hadiah untuk mempelai — kadang juga berarti untuk orangtua pihak perempuan — apa yang dimulai hampir 20 tahun lalu akhirnya menjadi kelaziman. Itu lho, kado barang digantikan oleh amplop.
Sumbangan berupa uang jelas lebih praktis. Hadiah berupa barang bisa merepotkan; membuka kadonya saja bisa sampai pagi. Pengantin mengantuk. Petugas pencatat teler. Petugas penyingkir kado (dan pembungkus) tenggelam dalam lautan kertas dan kardus.
Kabarnya, dulu, di beberapa kota ada toko yang siap menampung limpahan kado dari mempelai. Pengantin dapat duit. Toko dapat barang kulakan murah, termasuk yang berasal dari tokonya sendiri. Mungkin barang yang sama akan jadi kado dan kembali lagi ke toko itu.
Meskipun kuno, kado masih sering terlihat di meja penerima tamu. Berbahagialah pengantin yang menerima kado mungil berupa kunci rumah atau kunci mobil, dan bukan hanya kunci.
Sekeluarga berseragam
Sering terlihat, pasangan suami-istri memakai busana yang sama. Model sarimbit, katanya.
Sarimbit itu artinya pergi berpasangan. Pasangan yang tak memakai batik atau tenun yang sama berarti belum sarimbit, belum kompak, tidak se(i)ya sekata. Tentu sarimbit bukan jaminan sepanjang perjalanan berangkat maupun pulang itu mesra tanpa cemberut.
Kadang seragam itu tak hanya dikenakan oleh suami dan istri tetapi juga anak-anaknya. Dari segi pengadaan jelas hemat bahan. Dari segi pencitraan diri dan identifikasi keluarga, jelas lebih kentara dan gampang. Kalau segenap anggota rombongan memakai pakaian bergaris-garis zebra, itu namanya Dalton Bersaudara.
Kalau saya tak salah ingat, model sarimbit itu mulai muncul pertengahan 80-an. Meski sudah lama, ternyata saya ketinggalan zaman. Hingga hari ini belum punya seragam sarimbit. Besok mungkin, eh semoga, ada.
Tamu yang bergegas
Ini lazim di kota besar. Dalam sehari bisa saja seseorang harus menghadiri lebih dari satu resepsi.
Maka di Jakarta, misalnya, lumrah saja jika ada tamu yang datang ketika petugas jasa boga membereskan meja hidangan.
Juga biasa jika ada tamu yang datang awal, lalu setelah menyalami pengantin langsung keluar.
Kemarin saya menghadiri resepsi pernikahan di sebuah sport club di Jakarta. Seorang anggota keluarga pengantin bilang, pesta untuk mantu yang ketiga ini (di tempat yang sama) lebih aman, selamat dari serbuan tamu bergegas dalam arti lain.
Yang dia maksud adalah orang tak diundang. Yaitu orang yang selesai berenang dan berolahraga lainnya — tentu mereka berganti pakaian dulu. Pesta di tepi kolam mereka sangka untuk semua orang.
Masih menyangkut penyerbu, di sebuah kota di Jawa Tengah saya dengar ada gedung yang sebisanya dihindari orang yang punya gawe (dan mungkin katering). Di sana hidangan selalu cepat menguap padahal belum seluruh terundang bersantap.
Perihal perilaku santap-menyantap dalam pesta, silakan baca cerita lama saya.