ABAIKAN ARAH, YANG PENTING JAJAN.
Dulu, semasa saya bocah, orang-orang tua berlatar vorstenlanden akan meralat ucapan “Solo” menjadi “Sala”. Solo dilafalkan seperti kita kenal, dengan “o” seperti pada “soto”. Adapun Sala, dilafalkan dengan “a” yang menjadi “o” seperti pada “solok”.
Solo, menurut guru SD saya, adalah ucapan kernet dan kondektur bus. Kurang terpelajar, begitulah.
Beberapa teman yang asli Surakarta (nama resmi kota ini) juga lebih suka menyebut kotanya Sala. Tapi akhirnya makin banyak orang Sala yang larut, menyebut kotanya Solo, mengikuti Bengawan Solo — sebagai nama geografis maupun judul lagu. Ahirnya lebih banyak orang menyebut Solo ketimbang Sala.
Dari sebuah stasiun radio di Jakarta, saya sempat mendengar promosi oleh Pemkot Surakarta dan Garuda Indonesia yang menyebut kotanya “Solo”. Ya, sekadar mengamini apa yang telah dilakukan oleh industri pariwisata.
Jelas sudah, Solo memang nama yang gampang dijual, kadung merakyat. Sama seperti nama Jogja yang dipromosikan oleh sultannya. Bukan Yogya, bukan Yoja, bukan Jokja, bukan Jokya, bukan pula Yogyakarta — dan tentu bukan nama yang melelahkan macam “Ngayogyakarta Hadiningrat”.
Orang Solo ramah. Gali atau premannya pun santun. Begitu ramahnya Solo sehingga pemkot merasa tak perlu memasang banyak rambu petunjuk arah. Kalau nyasar silakan turun dari mobil dan menanya dengan sopan. Pasti si nyasar akan dapat bantuan, dengan catatan paham mata angin.
Maka jalankanlah peta di benak jika mendengar, “Panjenengan silakan terus, lalu ke barat, lantas ke utara, nah di sebelah timurnya itu adalah…” Mirip orang Yogya yang menganggap setiap tamu paham kiblat dan bawa kompas.
Kalau soal makanan, jangan pedulikan arah. Orang tersesat pun akan berjumpa kedai. Solo tempatnya orang ngawula ilat (menghamba lidah). Banyak hidangan lezat. Beberapa di antaranya menyajikan porsi yang santun agar orang tak kenyang karena kenyang akan mengikis kenikmatan.
Kalau Anda ingin terpandu dengan baik, maka Paman Patih Blontank bisa diandalkan. Dia mengenal Solo sampai ke lubang-lubangnya.
Cara dia merekomendasikan kudapan juga boleh. Untuk bakso empuk macam Pawiroredjo di Pasar Klewer, misalnya, Patih bilang, “Untu ogak (gigi goyah) pun bisa mengunyahnya.”
Nasi liwet dengan rasa yang pas — bumbu light, tidak keras — Paman memang betul: di warung Yu Sarmi. Beberapa versi Wongso Lemu di Keprabon sudah berbeda rasa, tak selezat versi seniornya dulu.
Sayang, daya tampung perut ada batasnya. Kantuk juga tak kenal kompromi. Gudeg ceker, yang buka pukul satu malam, batal kami sambangi karena weker di hotel kami abaikan.
Adapun restonipun Nina Akbar Tandjung, menurut kesan kami, singup — padahal tehnya enak. Tapi rumah kuno di Laweyan itu memang eksotis. Seperti halnya rumah wong brewu Kalang di Kotagede, Yogyakarta, rumah-rumah tua Laweyan merupakan warisan kejayaan dan perlawanan saudagar “pribumi” yang menjadi priyagung baru.
Oh Solo. Oh Yogya. Masihkah mereka saling ejek? Teman saya, orang Sunda (Garut), bilang, “Warisan penjajah kok dipelihara…” :D