Titip Anak, Sayang Anak, Abaikan Masyarakat

▒ Lama baca 2 menit

TENTANG JATAH SEKOLAH DAN LOWONGAN KERJA.

solopos dan jatah bangku untuk anak guru

Ada jatah bangku untuk anak guru dalam Penerimaan Siswa Baru. Itu yang saya petik dari SoloPos selama saya di Sala. Bukan hal baru, sudah lama berlangsung di mana-mana, bahkan tidak hanya di dunia sekolah (negeri) melainkan juga di dunia pekerjaan (pemerintah).

Pada hari-hari awal kuliah saya di universitas negeri, seorang dosen membuka kuliahnya dengan guyon untuk meledek. Kurang lebih begini omongannya, “Anda semua masuk ke sini lewat seleksi kan? Bukan titipan?”

Untuk kasus jatah anak guru, selain restu dari birokrat pendidikan, sumber masalah adalah tafsir sepihak yang mau enaknya sendiri terhadap ayat 1 dalam penjelasan pasal 19 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.

Saya memahami kegalauan beberapa guru sehingga mau enaknya saja. Percuma memintarkan anak orang lain, tapi anak sendiri telantar, tak mendapatkan sekolah yang baik dan murah. Begitulah kira-kira keyakinan mereka.

Kalau sekolah itu bukan negeri, tapi milik keluarga, ya sumangga karsa. Punya anak kurang cerdas, bahkan tak dapat baca-tulis hingga dewasa, boleh saja ditampung di sekolah milik sendiri. Tapi di sekolah negeri? Itu sama saja melanggar hak masyarakat dan perikeadilan.

Hal serupa berlaku untuk dunia pegawai negeri. Dulu teman saya, sarjana hukum, punya jatah kursi di kantor kejaksaan untuk menggantikan bapaknya yang pensiun. Ternyata pekerjaan (dan jabatan) bisa diwariskan. Aha! Ada rekrutmen berdasarkan kriteria genealogis dan herediter.

Bagaimana dengan perusahaan swasta yang Tbk? Masyarakat boleh marah jika di sana ada rekrutmen berdasarkan titipan — dari titipan oleh karyawan biasa, direktur, sampai komisaris.

Kita tak dapat menganalogikan itu semua dengan warung tegal dan rumah makan padang yang menampung sanak saudara juragan. Warung-warung itu milik mereka sendiri. Masyarakat ikut membiayai sebatas membeli makanan di sana, tanpa paksaan, tanpa ancaman sanksi. Bukan lewat pajak maupun pemilikan saham dan obligasi.

Maka wajarlah jika ada orang malas mendatangi pertemuan keluarga semacam arisan trah. Orang-orang itu meniti karier secara mandiri dan menghargai kometisi maupun kompetensi.

Mereka akan pusing jika didekati, “Wah, kamu sudah punya posisi ya, Ngger? Ada tempat di kantormu ndak? Bisa nitip, jadi apa saja terserah? Itu anaknya Bulik Prenjak barusan diwisuda, masa sih kamu tega ngeliat cah ayu pinter kok ngaggur? Mantunya Pakdhe Kampret barusan di-PHK; kasihan lho, sarjana kok buka warung pulsa…”

Lebih kasihan dan lebih menyedihkan lagi adalah orang yang suka menitipkan anak maupun keponakan. Bagi mereka, itu juga bagian dari kompetisi. Tepatnya: kompetisi antarkeluarga, baik saling kenal maupun tidak. Orang lain bisa memasukkan anaknya ke sekolah dan kantor tertentu lewat pintu belakang, kenapa kita tidak?

Kilah yang lumrah adalah, “Habis gimana lagi? Lha sekarang sistemnya kan gitu to?”

Apa tadi? Sistem? Huahahahahaa! Indonesia, aku cinta kau!

Tinggalkan Balasan