Melepaskan Anak

▒ Lama baca < 1 menit

TAK PERLU SAMPAI GUSI NYERI.

di sawahPetang tadi kami tiba di rumah, tapi sepi. Tak ada kedua anak saya. Mereka kami antarkan ke Bandung, lalu kami tinggalkan di sana. Mereka ingin sesekali berlibur tanpa orangtua. Kami juga ingin melatih mereka.

Tadi pagi kami menunda kepulangan ke Jakarta karena menunggu mereka bangun. Maklumlah, mereka habis begadang dengan sepupunya sampai pukul dua pagi sehingga bangunnya siang. Tak tega meninggalkan mereka begitu saja di rumah budhenya, yang dekat sawah itu, padahal tuan dan nyonya rumah bekerja di luar.

day, sita, rarasMalam ini saya menelepon mereka berulangkali. Duh, tak dapat sahutan. Mereka lagi di bioskop. Telepon lagi, ternyata ponsel Day di dalam tas, dan ponsel Raras low batt. Senewen juga.

Ibunya sih hanya mentertawakan saya. Rasain ditinggal anak, begitu kurang lebih pesannya. Apa boleh buat.

Sebetulnya bukan pertama ini saya ditinggalkan oleh anak. Dulu mereka sering berlibur hanya dengan ibunya karena saya tak ambil cuti.

Day dulu, saat berumur lima tahunan, malah pernah berlibur sendiri di Bogor — dengan diambil dan dikembalikan oleh paklik dan buliknya di Stasiun Kalibata. Waktu kelas 6 SD, dua kali dia ikut acara sekolah ke luar kota dan menginap. Rasanya waktu saya lebih siap.

Pekan lalu kami berapat keluarga, menawarkan pelepasan. Raras menukas, “Aku pengin banget, soalnya umurku sudah sepuluh, sekarang (naik ke) kelas lima.”

bertamu ke toko itbo

toko iit neo-omuniuum

Maka Senin kemarin berangkatlah kami ke Bandung. Setiba di sana kami langsung sarapan di Mak Uneh, Jalan Pajajaran. Lantas muter-muter dan akhirnya menclok di toko anyar pasangan istri-suami Iit & Tri. Sempat ketemu Budi Noir sebentar. Malamnya kami sekeluarga dan sanak bersantap di Kampung Daun.

budibadabadu the garingman

triWaktu bocah, saya juga mengalami beberapa kali pelepasan. Yang paling mengesankan adalah saat berusia lima tahunan. Saya dan mbakyu saya (ibunya Tito), dijemput Mbok Saroh, seorang bakul beras, lalu dibawa ke desanya, dekat Rawa Pening, naik dokar.

Rumahnya kecil, berdinding gedek, tanpa kamar, kurang cahaya, dan tentu tanpa listrik. Saya tak ingat berapa jumlah anaknya, tapi saya ingat kami dan keluarga itu tidur bareng di amben besar. Di sebelah amben adalah beberapa sapi! Aneka bau menggenangi ruang pengap.

Kejutan berikutnya adalah pagi harinya. Kami mandi di sungai yang airnya jernih, tapi di sebelah saya ada orang be’ol. Gigi kami, oleh Mbok Saroh, digosok dengan abu — tanpa sikat, cukup jari. Gusi kami sakit sekali.

Tinggalkan Balasan