↻ Lama baca < 1 menit ↬

PENYEBUTAN, PENGAKUAN, PENGUKUHAN.

simbok laundry di bandung

Simbok, si embok, si ibu, si emak, biyung, ada di segala zaman. Mami juga ada di segala waktu, cuaca, dan tempat. Apa bedanya?

Dalam perjalanan masa, simbok yang Jawa itu tercebur dalam sebuah konteks: ibu tua yang menjadi pembantu rumah tangga setia, yang bisa dipercaya. Film Indonesia, dan tentu tontonan di televisi, mengukuhkan hal itu.

Maka penggunaan merek “Si Mbok” untuk binatu swalayan alias penyewaan mesin cuci di Ciumbuleuit, Bandung, itu sekadar meneruskan apa yang sudah dipahami bersama.

Bagaimana dengan “mami”? Di tempat dan situasi tertentu — tepatnya: tempat hiburan pria — mami berarti koordinator para gadis penghibur untuk melayani tamu. Termasuk di antaranya adalah “mami dancer” yang menyediakan cewek penari erotis di ruang karaoke.

mbakyu cantikYah, itulah bahasa yang hidup. Kata-kata tertentu banyak yang mengalami pengayaan makna. Maka nun di Bogor, seorang bocah kurang suka ketika ibunya dipanggil sebagai “Mbak” oleh tetangga yang lebih muda. Menurut dia, “mbak” itu panggilan untuk pembantu.

Mbak — tepatnya “mbak-mbak” — dalam konteks tertentu adalah sebutan untuk wanita (muda) yang biasa dalam penampilan, gaya hidup, dan bahkan pekerjaan. Maka jadi lucu ketika seorang mbak tak terima disebut “kayak mbak-mbak”.

Begitu pula untuk sebutan mas-mas, suatu hal yang bisa difilmkan itu. Mas-mas bukanlah mas, tapi juga mas. Membingungkan? Tidak, saudara-saudari. Bahasa juga mencakup rasa.

Mas-mas adalah, “…wong lanang kampung, ora mentèrèng, kaya sing dodol bakso utawa tukang ojèk” (Lelaki kampung, tak mentereng, seperti penjual bakso atau tukang ojek).

Mbak dan mas adalah ungkapan Jawa. Sialnya jawanisasi kelewat kencang sehingga orang-orang (keturunan) Jawa, atau yang tumbuh dalam kultur Jawa, akan meng-mas-kan dan mem-mbak-kan siapa pun. Maka seorang uni galak pernah protes, “Gue Padang, jangan manggil Mbak.”

Padang? Ini pun hasil perjalanan bahasa. Lebih mudah menyebut orang Minang sebagai orang Padang, sampai akhirnya urang awak pun menyebut diri begitu, padahal bisa saja mereka orang Solok dan Payakumbuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *