BELANJA DITEMANI, APALAGI KE RESEPSI.
Ah, kayaknya nggak ada hubungannya dengan marital status deh. Seorang wanita suka — dan berani — pergi sendiri itu bergantung pada siapa dia, hidup di mana, seberapa aman lingkungannya, dan sebagainya.
Wah, nggak asyik dong kalau satu paragraf, pembuka pula, langsung selesai.
Begini. Ada seorang wanita, tinggal di Jakarta, tapi setiap kali mudik ke kota asalnya di Jawa Tengah dia selalu saja batal mengunjungi sebuah kedai yang saya rekomendasikan.
Alasannya aneh, “Males. Nggak ada temannya. Orang-orang yang diajak pada nggak mau.”
Sekian kali mudik, sekian kali pula batal mengedai, dan tentu sekian kali beralasan malas.
Akhirnya saya paham latar belakangnya: kurang pantas bagi seorang wanita di “daerah” pergi petang hari hanya untuk mengudap.
Duh, celaka bener yak jadi wanita lajang di kota kecil atau “daerah”?
Beberapa orang menjawab: bukan celaka tapi nggak enak, karena lajang di “daerah” nggak sebebas di Jakarta dan kota besar lainnya.
Mengudap sendirian saja dilihati, dianggap aneh. Bandingkan dengan di kota besar, wanita ngopi sendirian dianggap biasa.
Belum lagi pergi ke kondangan sendiri, sungguh tak nyaman, ketahuan kalau tak punya pasangan (emang napa? bukannya senang dan bangga, masih merdeka?).
Bagaimana dengan pergi berbelanja berdua atau bertiga? Itu tak ada hubungannya dengan lajang atau tidak, mukim di kota besar atau kota kecil. Tampaknya beberapa wanita memang lebih sreg kalau tertemani sekalian mendapatkan opini.
Untuk urusan malas ke resepsi, kayaknya nggak cuma di “daerah” deh. Di Ibu Kota pun undangan bisa jadi masalah bagi wanita lajang. Yang terpikir pertama setelah mendapatkan info tanggal dan tempat adalah, “Bareng siapa ya?”
Saya, saat lajang maupun sudah beristri, beberapa kali datang ke kondangan sendirian. Yang penting saya menujukkan diri kepada pengundangnya bahwa saya datang. Hadirin lain tak saya kenal, itu bukan masalah bagi saya. Tapi kalau katering tandas, itu baru masalah. :D