↻ Lama baca < 1 menit ↬

ANEH DAN TANGGUNG, RASANYA. ENAKNYA BUAT APA?

buah kecapi

Seusai sarapan gudeg Bu Harjo di Pasar Cikini, Jakarta Pusat, buah di penjaja sebelah itu saya beli. Namanya buah kecapi. Supaya anak-anak saya tahu.

Saya? Tahunya juga baru belasan tahun lampau. Dulunya saya pikir cuma nama alat musik tradisional. Makanya saya dulu heran kenapa di Pondokgede ada Pasar Kecapi.

Aneh rasanya, kata Day, anak saya. Raras, adiknya, tak mencicipi karena tak tertarik. Memang rasanya manis belum, asam tidak, keset pun bukan.

Masih lebih jelas rasa manggis. Persamaan keduanya adalah daging buah tak dapat sepenuhnya terangkat dari biji. Cara memakannya sih hampir sama.

Ketika buah-buah lokal semakin jarang dijajakan — sementara buah impor mudah kita jumpai di lapak kaki lima — bagaimana kelanjutan nasibnya?

Saya bukan ahli pangan, bukan ahli gizi, dan tak paham pengembangan teknologi berbahan tumbuhan. Tetapi saya berpengandaian kalau buah lokal tertentu itu enak, pasti disukai dan akan dibudidayakan secara meluas.

Enak atau tak enak, kalau ada manfaatnya untuk pengobatan maupun lainnya, pasti akan dibudidayakan — lantas kapan mulainya, bukan cuma riset belaka. Untuk urusan ini Timpakul dan Daus lebih berkompeten daripada saya.

Jarak untuk bahan bakar, mereka berdua bisa menilai bagus atau tidaknya. Minyak sawit kita diboyong RRC untuk keperluan di luar goreng-menggoreng, sehingga kita kerepotan, mereka juga bisa bikin tinjauan yang lebih matang daripada saya.

Links:
+ Peminum kopi: another weird fruit buat anak kota
+ Mamanya Maureen: ngidam kecapi demi si jabang bayi
+ Depkes: peluruh kentut dan pemeras keringat
+ Aki Suparka: kecapi dan lainnya
+ IptekNet: buah yang bandel
+ P2KP: kecapi dan pembusukan sosial-politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *