↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK ADA PELAJARAN. DEMI KEBERSAMAAN.

pengarahan

Sudah seminggu lebih kedua anak saya meninggalkan hari terakhir ulangan umumnya. Jumat besok mereka terima rapor. Tapi mereka tetap diwajibkan masuk. Tak ada pelajaran. Hanya pertandingan antarkelas dan aneka acara, bahkan nganggur menunggu jam pulang. Tadi si kecil saya tanya, dan jawabannya, “Cuma diputerin DVD Oliver Twist, Pak.”

Saya dan istri saya menyarani mereka agar di rumah saja. Itu seperti yang saya lakukan saat sekolah dulu. Kalau sudah tak ada pelajaran dan ulangan, ngapain masuk? Kalau cuma cengengesan dan santai, di rumah juga bisa — bahkan dulu pilihan saya untuk menghabiskan hari lebih banyak.

Anak-anak menolak. Dan saya paham alasannya. Kalau sekolah sedemikian menyenangkan, bertemu teman-teman pula, dan mereka tak bermasalah dengan guru, lagi pula bisa jajan, kenapa harus bete di rumah?

Ada sih iming-iming, misalnya diajak jalan-jalan. Tapi mereka memilih masuk. Jalan-jalan tetap mau, asal di luar jam sekolah.

Apa boleh bikin. Kalau itu membuat mereka bahagia, apa salahnya. Penindasan terhebat adalah jika si korban tetap riang, tak merasa hak-haknya dirampas. Hak untuk bermain di rumah, hak untuk berangkat tidur lebih larut, hak untuk bangun siang, hak untuk menunda mandi, hak untuk bermalas-malasan, hak untuk bengong atau melamun di jendela, hak untuk melupakan guru, dan sesekali agak mengabaikan ortu…

bengong di jendela kayak kakatua

Berdasarkan kondisi itulah saya tak mempersoalkan kepada pihak sekolah. Bisa-bisa saya diketawain, “Anaknya hepi, bapaknya yang bermasalah.”

Baiklah, anak saya bahagia. Tapi saya masih penasaran. Dari tahun ke tahun, alasan yang saya dengar tetap sama. Sekolah tak dapat meliburkan begitu saja tanpa restu birokrat pendidikan.

Selain alasan kuota hari belajar dalam setahun, alasan para birokrat adalah “kebersamaan”. Tak baik ada sekolah tertentu yang libur, sementara sekolah lain belum atau tidak prei.

Dalam kasus tertentu bisa juga berlaku kebalikannya. Kalau menurut birokrat pendidikan, dengan merujuk menteri segala, harus ada libur atas nama ini dan itu, maka sekolah yang tak berurusan dengan ini dan itu juga harus ikut libur.

Sangat Indonesia. Harus ada penyeragaman di segala bidang. Berbeda berarti menyebal dari pakem. Berbeda berarti tak menghargai kebersamaan. Tepatnya: kebersamaan versi birokrat pendidikan dan negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *