Buah Jatuh tak Jauh dari Pohon Tetangga

▒ Lama baca < 1 menit

AKHIRNYA IMPOR DARI NEGERI TETANGGA.

sawo kupasanAnak saya mulanya kurang begitu mengenal sawo. Kulit sawo yang kurang menarik membuat mereka tak menyangka bahwa isinya manis.

Perihal istilah “sawo matang”, itu mereka kenal sebelum melihat buahnya. Mereka juga pernah melihat kecik (biji sawo) untuk dhakon (congklak) tanpa tahu buahnya.

Dari mana datangnya sawo? Tentu dari membeli. Tak jauh, selepas keluar dari jalan tol menuju rumah saya, ada penjual buah. Itu kios ada sedia sawo (duh, kalimatnya jadul banget).

Tentang sawo, dan buah lokal lainnya, atau sebut saja buah kampung, saya punya kesan bebuahan itu kini bukan lagi tanaman kebun tetangga.

Ketika saya masih kecil, sawo — dan juga pisang, pepaya, kepel, sirsak, kedondong, duku, langsep, salak, rambutan, gowok — bisa didapat dari pemberian tetangga. Sebagian dari buah itu malah bisa dipetik dari halaman sendiri.

Hanya jeruk (terutama keprok) dan kesemek atawa keledung yang harus didapat dengan membeli. Begitu pula halnya durian dan mangga tertentu.

Saya tak tahu apakah di kota-kota kecil Pulau Jawa masih banyak rumah yang berhalaman dan berkebun luas dengan rindangan pepohonan buah.

Tampaknya halaman dan kebun di sana sudah terisi bangunan. Bisa bangunan baru dari pemilik lama. Bisa juga bangunan baru milik pembeli lahan.

Jangan tanya kebun di Jakarta, terutama di kompleks perumahan dan perkampungan padat. Sandal lepasan saja menghabiskan ruang, mana ada tempat untuk tanaman selain pot.

Anak-anak kota besar mungkin tak menandai rumah kawan seperti orangtuanya dulu: “O, si Anu yang punya pohon kedondong itu…” Lebih mudah mengidentifikasi rumah berdasarkan mobil dan anjing galak.

Di kota besar, buah jatuh dari pasar. Adapun dulu, membeli bebuahan itu sudah mengesankan pola konsumsi kelas menengah. Barangkali itulah yang mengilhami lagu “Papaya, mangga, pisang, jambu / dibeli dari Pasar Minggu…

Pasar swalayan tertentu, dengan seleksi yang ketat, menyediakan aneka bebuahan lokal. Tapi pasar kotor dan bau, seperti Pasar Cikini, Jakarta Pusat, pun masih menyediakannya. Beberapa penjual tua punya pelanggan dari kalangan ibu-ibu sepuh bersanggul yang mereka sebut “nyonya gedongan”.

Makin banyak bebuahan lokal yang harus dipetik dari pasar. Halaman kita tak punya. Kebun tetangga juga tak sedia.

Entahlah apa jadinya kelak setelah kebun buah di pinggiran dan luar kota (Jawa) sudah menjadi perumahan.

Mungkin kita tak hanya akan mengimpornya dari Thailand dan Malaysia — setelah Jawa mendatangkannya dari luar pulau — tetapi (untuk buah tertentu) juga tlatah utara Australia.

Tinggalkan Balasan