KITA TAK MEMBANGGAKANNYA…
Bajaj. Kopaja. Metromini. Sungguh kendaraan surgawi. Hanya Tuhan dan sopirnya yang tahu kapan berhenti dan belok mendadak. Sopir-sopirnya adalah pendorong orang untuk giat berdoa memohon keselamatan.
Kalau tak pernah naik, dan tak pernah merasakan nikmatnya maupun jasanya, kita cuma bisa sebal. Apalagi kalau kendaraan kita pernah dibikin penyok dan ketika kita minta ganti rugi cuma diberi dua pilihan.
Pertama: silakan datang ke pool atau terminal — artinya bersiaplah untuk dikeroyok korps awak angkot, dianggap sebagai si kaya yang tak tahu diuntung.
Kedua: sopirnya pasrah mau diapain saja karena belum cukup setoran — dan kalau pun cukup takkan sanggup menutup kerugian senilai klaim asuransi — sambil wanti-wanti bahwa anak-anaknya masih kecil.
Kalau Anda adalah Rambo ambillah pilihan pertama. Jika Anda perkasa tapi berjiwa mulia, sanggup bayar pengacara yang kolektor mobil sport pula, ya relakan saja. Bayar paket salon mobil jutaan rupiah saja mampu, masa sih tega membunuh kere.
Nah, bagi sebagian rakyat — dan lebih ajaib lagi justru ekspatriat — ketiga angkutan umum itu adalah sahabat. Ikonnya pantas dimiliki. Maka mainan kere berupa replika kasar berbahan kayu, pakai tiruan dekor tirai di kaca, itu ada saja yang beli.
Keluarga sopir bajaj, sopir metromini, dan sopir kopaja memajangnya sebagai penghargaan terhadap wahana sumber nafkah.
Lain pula alasan khalayak di luar kelompok operator angkot. Ada romantisisme dan eksotisisme di sana. Sama seperti Anda memboyong becak untuk dekor teras rumah berasitektur tropis. Serupa dengan memajang poster bemo di ruang kerja bergaya “minimalis”.
Yang sepele, yang krembis, yang kere, yang kumuh, dikemas ulang untuk dinaik-kelaskan. Dihadirkan dengan “pemaknaan baru” ala kelas menengah, sehingga kita tampak lebih berbudaya dibanding gubuk derita di bantaran kali yang memasang Porsche dan Ducati dari sobekan kalender.
Padahal masalahnya sama-sama memajang sesuatu yang asing, yang berjarak, kan?