ENTAHLAH BAGAIMANA URUSAN TATA KOTA.
Di Tebet, Jakarta Selatan, tak jauh dari kantor Kementerian Desain RI, tumbuh kawasan bisnis yang cozy. Kedai dan distro bermunculan. Harga tanah di sana sekarang mencapai Rp 10 juta per meter, padahal lima-enam tahun lalu cuma separuhnya.
Saya enjoy saja dengan atmosfer di sana — yah, padahal mencari parkir susah. Sempat sih mencoba becermin dengan menanya anak saya, “Bapak terlalu tua nih kayaknya kalau masuk ke distro. Menurut kamu?”
Dia tertawa. Dan kembali tertawa ketika kami sekeluarga mengudap di Nasi Bebek Ginyo, kedai teranyar, yang lezat itu. Ternyata pemiliknya saya kenal. Dia juga punya dua distro di kawasan itu. Kami sama-sama kaget ketika bersua.
Hubungannya dengan ketuaan saya? Dia jauh lebih tua dari saya, pensiun empat tahun silam. Dia bukan bagian dari kasak-kusuk indie, tapi bisa membangun bisnis keluarga bersama anak-anaknya. Selain distro, dia juga punya dua kedai burger dengan merek sendiri. Satu di Tebet, satunya lagi, dengan merek berbeda, di Kalimalang, Jakarta Timur.
“Nah, Bapak bikin distro saja,” kata anak saya sambil menenteng belanjaan kaos dan CD. “Kayaknya cocok,” katanya lagi. Dasar bocah, mikirnya sederhana. “Yang lebih tua dari Bapak aja bisa, apalagi Bapak,” itu alasannya.
Sama sederhananya dengan tuturan yang saya dengar dari sumber sahih. Menurutnya, Pak X, eks-petinggi sebuah kelompok penerbitan, membeli sebidang tanah di Tebet itu dengan transaksi kilat di kedai. Setelah beli dia baru berpikir, “Enaknya buat apa ya?”
Saya tak paham tata kota. Siapa yang menduga bahwa sepojok titik di Tebet itu akhirnya jadi kantong bisnis untuk melayani orang-orang Jakarta Timur? Tebet Junction belum ramai banget, tapi tampaknya bakal muncul penyusul.
Geliat pasar sejak dulu tahu bagaimana memanfaatkan ruang. Para perencana, pengatur, dan penertib kota cuma bisa garuk-garuk kepala dan tepok jidat.
Bandung telah lebih dulu belajar saat meledaknya bisnis factory outlet. Tapi di Pondok Indah, Jakarta Selatan, papan nama peringatan terus beradu pesan dengan sosok rumah yang berubah jadi toko. Di Puncak, Jawa Barat, pemerintah tak berdaya untuk menertibkan vila-vila liar pejabat.
Pasar punya akal — dan jawaban. Konsumen toh diuntungkan, itu pasal pembenar yang mengasyikkan. Tapi siapa konsumen, siapa masyarakat, siapa yang dirugikan, itu debat tak berkesudahan.
Ketika tiba pada persoalan itu, saya sering mendua. Kalau ternyata menyenangkan bagi saya, ya saya segera menemukan dalih, “Pemda aja diem kok saya rewel.”
Tampaknya saya tak mendua. Saya kayaknya sering mengamini hasrat pasar, dengan menempatkan diri sebagai konsumen yang mau gampang dan enaknya saja. Gombal nian.