↻ Lama baca 2 menit ↬

ALANGKAH SEDIKITNYA BUAH YANG SAYA KENAL.

Buah pepino bukan buat Pinokio

“Ini pepino. Silakan coba,” kata Mas Penjagabuah yang bertugas sebagai juru timbang dan pengupas durian monthong itu.

Saya cicipi seiris. Agak aneh. Manis tidak, asam bukan, anyep (tanpa rasa) juga tidak. Seperti buah belum masak tapi dari jenis yang tak layak rujak. Saya lihat brosurnya. Dibilang bagus untuk kesehatan. Sudah dibudidayakan di Jawa Tengah. Saya beli.

Siang ini saya cari di Google. Blog Budi Sutomo, si tukang masak, sudah membahasnya Februari lalu.

Begitu banyak buah di bumi ini, tapi yang saya ketahui cuma beberapa. Bahkan buah lokal pun tak semuanya saya kenal apalagi pernah saya cicipi.

Buah carica, yang dikemas sebagai manisan dalam botol itu, baru saya kenal enam tahun lalu. Saya mengenalnya setelah mendapatkan oleh-oleh dari Derry, sejawat yang berkampung di Temanggung.

Sepuluh tahun lalu, ketika mendengar “matoa” saya tak paham. Nama eksotis polinesian itu memang cocok untuk nama jurnal. Kemudian Bob Hasan menjadikannya sebagai nama lapangan golf. Terakhir saya dengar Malaysia menjadikan tanaman buah asal Papua itu untuk penghijauan.

Manusia di luar kutub memang akrab dengan tanaman. Maka wajar saja jika banyak jejak toponimis (penamaan tempat) yang merujuk kepada vegatasi. Menteng, Bintaro, Kemang, Kecapi, Gayam, Pakel, Pelemkecut, Papringan, Kledung, dan Kepuh (nama sebuah kampung di Gondokusuman, Yogya).

Di Salatiga dulu saya bermukim di Jalan Andong. Ini nama pohon, dilafalkan dengan “d” lunak, tak seperti “d” dalam “andhong” yang berarti sebangsa delman dan dokar.

Di Pondokgede, Bekasi, beberapa desa bernama awal “jati”. Ada Jatimurni, Jatimekar, dan Jatirahayu. Entahlah dari mana asal-muasal tempat bernama orang: Jakasampurna dan Jakasetia. Mungkin mereka itu sepupunya Jaka Sembung, jagoan kagak nyambung yang kalau jadi nama geografis akan tertulis Jakasembung.

Saya punya teman. Orang Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Namanya Jaka Eka Cahyana (baca: Joko Eko Cahyono). Ketika berkenalan 19 tahun lalu saya teringat nama kampung di Bekasi. Lalu saya memanggilnya Jackie. Teman-teman mengikuti.

Masih soal jati, nama sudut kampung saya di Salatiga dulu adalah Jatisari. Saya tahu dari para orang tua yang penduduk asli. Asal nama adalah sebidang tanah yang ditumbuhi pohon jati. Setelah pohon ditebang, di atas lahan itu berdiri omah gedong bergaya Belanda. Rumah itulah yang saya tempati selama 20 tahun lebih.

Bagaimana dengan pepino, akankah menjadi nama jalan di kompleks atau bahkan nama perumahan?

Nama ini, menurut kuping saya, kesannya lucu, akrab dengan anak-anak. Mungkin bagus untuk nama kelompok bermain, merek busana anak, dan klub baca.

Oh, bisa jadi kesan saya salah. Karena pepino juga bisa dipakai untuk produk dewasa. Jangan lupa, setelah menyimak aturan pakai, lihatlah hasil surveinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *