DARI YANG LAWAS SAMPAI EMBUH…
Jangan tertawa baca “ulasan” saya. Sebagai konsumen yang beli produk asli mestinya saya boleh berkomentar kan? Mosok sudah mbayar kok ndak boleh celathu. Ini beberapa di antaranya…
Mas-mas Sigit
Namanya kayak teman saya: The SIGIT. Itu singkatan Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Warna musiknya seperti zaman oom dan tante mereka: 70-an. Sound dengan racikan rock n’ roll dan hard rock lawas kuat banget. Pokoke oke.
Untuk orang tua yang mau mengenal musik anak muda takan menemukan sandungan berupa kejutan karena mereka seperti ditarik ke belakang, mundur ke masa remaja.
Kemasan CD-nya apik banget, layak diacungi jempol. Dominan hitam, dari kardus luar sampai boks plastiknya.
»»The SIGIT: Visible Idea of Perfection • Fast Forward Records, Desember 2006
Komprominya Iwan
Fifty-fifty. Separuh maunya Iwan Fals, separuhnya maunya label. Saya beli bulan lalu karena ditawari penjaga Societe Pondok Indah.
Bagi saya album jambon-ungu ini terasa nggak enak, bahkan membosankan. Yang lumayan ya cuma Mabuk Cinta (Bongky) yang nge-reggae itu.
Rasanya album Iwan kok semakin nggak enak ya. Nggak sekuat, misalnya saja, Orang Gila (1993 — asyik nih!) atau Mata Dewa (1989). Juga nggak seenak Iwan bareng Swami (album pertama, 1989) maupun Kantata Takwa (album pertama, 1990). Juga nggak semerdeka Hijau (1992). Nggak “sekontemplatif” Cikal (1991) — album yang kabarnya kurang laku itu.
»» Iwan Fals: 50:50 • Musica Studios, April 2007
Tulang Punggung Andra
Ini trio dengan rasa gitar yang kental, karena dimotori Andra Ramadhan-nya Dewa. Selain dia, gitarisnya adalah Stevie Item (anak gitaris Yopie Item). Adakah rasa Dewa? Ya, sedikit. Misalnya di Musnah dan Dengarkan Aku — minus vokal Once dan harmoni Dhani. Untuk Ditelan Bumi, boleh tuh.
Kalau Surrender yang tanpa vokal? Ini yang oke!
Jadi? Bolehlah untuk koleksi. Orang Jawa bilang “kanggo nduwèn-duwèn“.
»»Andra and the Backbone • EMI Indonesia, 2007
World Music-nya Viky
Kalau “world music” diindonesiakan jadi “musik dunia” kok merepotkan ya. Kayaknya istilah ini hasil persekongkolan industri musik Barat untuk menggolongkan musik — yang katakanlah — “etnik”, non-Barat, atau apalah, tapi boleh dicampur dengan “instrumen bule”. National Geographic saja ikut mengurusinya. Barangkali karena NG akrab dengan “etnografi”.
Nah, Viky Sianipar menyatakan diri berada di ranah itu tadi… world music. Karena awam musik, saya bingung apakah campursari yang betul-betul campur aduk itu boleh masuk world music. Peter Gebriel, penggagas Womad, pasti lebih tahu.
Album ini adalah kompilasi beberapa “lagu daerah” dan “lagu nasional”. Aransemennya “modern”. Lho kok banyak tanda kutip? Saya kesulitan mencari kata yang pas, dan lebih memilih ikut arus.
Bagi saya, lebih enak album Ubiet Archipelagongs (2000) ketimbang ini. Meski begitu Gondrong Banyuwangian itu bolehlah. Yang paling sip ya Dara Muluk (Ki Narto Sabdo) yang dibawakan oleh Sujiwo Tejo, dengan iringan utama piano (Viky) serta kendang dan rebab (Kiki Dunung). Bagus tuh buat nada dering maupun nada sambung pribadi — tapi sayang tak tersedia.
»» Viky Sianipar: Indonesian Beauty • PT Monang Sianipar, 2006
Threesome Tiga Jagoan
Jreng! Enak! Kemasan paket CD dan DVD bagus. Tiga gitaris (Budjana, Tohpati, Balawan) saling mengisi. Byuh. Duluuu sekali, ketika pertama kali mendengar musik Bujana, dengan naifnya saya membantin, “Kok ada rasa workshop Pat Metheney ya?”
Nah rasa workshop Trisum itu kental di sini. Dasar kuping saya rada kacau, dan ingatan mulai pikun, mendengar awal Mainz in My Mind saya malah teringat Stanley Jordan.
Ah embuh ra weruh. Pokoké énak. Nyam-nyam. Album ini layak beli.
»» Trisum: 1st Edition • Sony BMG Entertaiment Indonesia, 2007