PEMADANAN PROFESI DENGAN DUNIA SATWA.
“Apa nggak capek ya Pak, kok dia berdiri terus?” tanya Raras, anak saya.
Yang dia maksud adalah penjaga di depan gardu jaga Istana Negara. Saat itu, akhir pekan lalu, kami sedang melintas di depannya.
Tapi pikiran saya bukan soal capai atau tidaknya si penjaga, yang memang digaji dengan uang rakyat untuk melakukan itu.
Saya malah ingat istilah lama yang sudah menguap: “rumah monyet” dan “kandang monyet”. Itu istilah para orangtua untuk menyebut gardu jaga tentara.
Para orangtua? Tampaknya tidak. Sejauh saya ingat sejak kecil, keluarga serdadu jarang menggunakan istilah itu.
Anak-anak kolong kurang suka kalau dibilang ayahnya berdinas di kandang monyet maupun “omah munyuk” atau “omah kêthèk“. Istilah lucu itu lebih sering terucap dari keluarga orang sipil.
Mungkin istilah itu dianggap pejoratif bagi korps tertentu. Namun jika menyangkut istilah yang mungkin bernada merendahkan ada juga yang sejak dulu tak dianggap masalah. Misalnya “kuli tinta” untuk wartawan. Entahlah dengan “nyamuk pers” untuk reporter.
Waktu kecil saya mendengarnya sebagai “kulit tinta”. Untunglah mbakyu saya mau menjelaskan ketika saya bertanya. Padahal saya kadung membayangkan orang yang seperti “iwak mangsi” (ikan tinta), yaitu cumi-cumi.
Tentang kuli tinta, pernah ada koreksi yang rada sok. Pada akhir 80-an sampai awal 90-an ada sebagian jurnalis yang menggantinya dengan “kuli disket”. Seolah modern, padahal koran dan majalahnya masih dicetak di atas kertas dan tetap butuh tinta.
Waktu itu “sneakers network” alias “footwork” — menenteng disket ke sana-sini karena belum ada jaringan keranjang naskah — masih baru. Bagi sebagian orang itu mentereng karena telah menggantikan bising mesin tik manual menjelang tenggat.
Kembali ke rumah monyet. Kenapa pakai pemadanan binatang? Barangkali karena bentuknya. Gardu jaga lama dulu cuma berdinding papan dengan atap seng.
Setidaknya itulah yang dulu saya lihat di trotoar depan markas resimen (Korem 073 Makutarama, Salatiga). Setiap kali melihat penghuninya, yang bertopi baja, saya membatin, “Gede banget monyetnya!”
Masih berhubungan dengan binatang adalah bandul kalung untuk serdadu. Orang bule menyebutnya “dog tag” dan tampaknya tak ada protes dari korps militer.
Saya tak tahu padanan Indonesia untuk dog tag sebagai penanda identitas serdadu. Kalau untuk harafiahnya ya “pening anjing“. Dulu ibu saya membeli pening itu di “kantor kota praja” untuk guguk saya.
Nun di sebuah kota dengan wali bernama Cornelis Prul, salah satu petugas paruh waktu untuk menangkapi anjing tanpa plombir adalah Donal Bebek.
Terhadap pening atau plombir sepeda, beberapa kota di Indonesia masih menerapkannya, bila perlu dengan razia yang sering disebut “cegatan”. Tapi razia untuk anjing liar tampaknya tak ada — atau jarang. Mungkin perlu bantuan penghuni kandang monyet?
© ilustrasi silakan bikin di GlassGiant.com