↻ Lama baca 2 menit ↬

SEKOLAH DINAS DIBUBARKAN KARENA KEKERASAN? NANTI DULU TO MAS…

ipdn showUntuk jadi advokat, bukan pokrol, kudu lulus dari fakultas hukum. Lebih ketat lagi, untuk jadi dokter harus sekolah dulu di fakultas kedokteran (dulu: sekolah tabib tinggi). Untuk jadi apoteker harus tamat kuliah farmasi.

Taruh kata saya bikin Akademi Militer Gombalan, dengan bonus pelajaran esktra berupa lempar pisau ke orang yang terikat roda putar, dan menembak apel di atas kepala orang, maka lulusan terbaik tidak bisa begitu saja mendaftar ke Mabes TNI di Cilangkap. Kalau mendaftar ke Oriental Circus mungkin malah langsung dapat audisi. Bahkan siapa tahu langsung diterima kalau juga bisa menjinakkan singa, merangkap MC dan penyobek karcis — dan sesekali jual popcorn.

Begitulah, untuk jadi perwira tempur butuh sekolah khusus setingkat akademi. Tapi untuk jadi dokter militer, atau jadi hakim mahkamah militer, setahu saya tidak perlu jadi serdadu sejak prajurit satu/dua baru kemudian kuliah.

Profesi tertentu butuh sekolah khusus. Pastor berasal dari seminari. Pendeta (protestan) tertentu adalah tamatan sekolah teologi. Bahwa dalam praktik ternyata penggiat doa justru para sopir angkutan umum yang ugal-ugalan, tak tamat SD pula, itu adalah keajaiban spiritual nonsektarian, lintas iman pula.

Saya ndak ngerti pendidikan. Pun tak paham administrasi negara. Lebih dari itu saya bukan master of martial arts. Maka terhadap ide pembubaran IPDN karena ada pembunuhan, persoalannya bagi saya adalah seberapa butuh kita akan sekolah dinas setingkat S1?

Saya belum tahu sejarah sekolah-sekolah dinas pemerintah, jadi tolong Anda koreksi. Dalam pengandaian naif bin picik saya, sekolah-sekolah itu dulu muncul untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri yang berkualitas dalam bidangnya.

Dulu? Kapan? Yah, mungkin akhir 50-an sampai awal 60-an, ketika universitas belum berserak dan kuliah belum menjadi keharusan sosial. Dulu cukup tamat SMA setiap orang bisa bekerja jadi orang kantoran.

Nah, untuk memformat pegawai baru diperlukanlah sekolah khusus. Ada yang cuma kursus, ada yang cuma pendidikan dan pelatihan dasar, ada pula yang berupa perkuliahan selayaknya perguruan tinggi.

Jadi, kalau usul pembubaran sebuah sekolah dinas semata-mata karena ada kekerasan di dalamnya, bagi saya hanya tren reaksi sesaat semusim. Nanti kalau kasusnya berulang, usulan serupa didendangkan lagi.

Saya dulu, jujur saja, pernah termasuk penganut reaksi semusim yang pro-pembubabaran menwa gara-gara ada kasus kekerasan (yang saya juga lupa apa saja persisnya, tapi salah satunya kasus tewasnya The Manto).

Hanya saja alasan saya waktu itu lebih sok argumentatif akibat rasa kuciwa karena menwa terkesan kurang fungsional. Sebagai mahasiswa yang dilatih kemiliteran mestinya mereka berada di garis terdepan untuk melawan penyerbu kampus — siapa pun penyerbunya, terutama serdadu dan polisi. Juga tidak semestinya sebagian dari mereka menjadi pemasok info ke dinas intelijen militer seperti kasus di Semarang awal 90-an (padahal kalau menyangkut intel kampus, mahasiswa biasa pun ada).

Saya, waktu itu, berpendapat bahwa mereka yang ingin jadi serdadu setamat SMA punya dua pilihan. Mendaftar ke akademi militer atau kuliah biasa di kampus sipil lantas setelah lulus mendaftarkan diri sebagai calon perwira. Jadi selama kuliah tak perlu jadi tentara — kecuali dalam keadaan perang atau terkena wajib militer.

Kalau alasannya (cuma) menwa itu bagus untuk mengasah patriotisme, wah kegiatan pecinta alam juga begitu. Kalau alasannya (cuma) untuk melatih kedisiplinan, wala… unit kegiatan paduan suara juga memberikannya — bayangkan kalau setiap latihan satu lagu pesertanya gonta-ganti.

Ada yang bilang alasan saya, yang dimuat sebagai surat pembaca di Media Indonesia dan Tempo (belum zaman blog sih), itu lucu tapi masuk akal — dan sekaligus gombal. Saya tergerak menulis surat pembaca setelah mendapat berita alumni menwa akan melakukan sejumlah cara yang dilandasi bekal kemiliteran kalau korpsnya dibubarkan.

Kita tinggalkan kenaifan dan prasangka saya soal menwa. Bagaimana dengan kelanjutan sekolah-sekolah dinas setingkat D3 atau S1 atau sejenisnya?

Mestinya perlu kaji ulang tanpa niat melucu, mana yang masih relevan, dan mana yang tak diperlukan (cukup dengan diklat berjenjang). Bukan apa-apa, mereka dibiayai dengan uang rakyat.

Tautan:
+ Kekerasan dalam sekolah dinas pemerintah
+ Kaos trendi alumni IPDN
+ Galeri dukungan untuk IPDN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *