↻ Lama baca 2 menit ↬

IKLAN BARIS: SALAH SATU POTRET KEBAHASAAN KITA.

iklan baris kompas dan the jakarta post

Libur Sabtu, cuma sarungan, bisa bangun siang, alangkah nikmatnya. Saya nikmati teh melati, buka Koran Tempo, Kompas, dan The Jakarta Post. Karena tak ada berita menarik, saya baca iklan saja, terutama iklan baris.

Dari KorTem tak ada iklan menarik. Dari Kompas dan JP sama saja. Tapi nanti dulu, ternyata apa yang dalam keseharian nan sibuk itu biasa, ini hari jadi menarik.

Misalnya tentang jual-beli membership untuk klub golf. Bukan hal baru. Itu ada sejak dulu ketika keanggotaan berbayar dipasarkan, bahkan jadi iming-iming yang dijual oleh para tenaga penjualan.

Menjadi menarik, dalam bayangan saya, adalah bagaimana menjelaskan hal ini kepada orang kebanyakan? Cuma keanggotaan kok bisa dihargai senilai mobil.

Apa boleh buat, selalu ada jarak pemahaman antarkelompok dalam sebuah masyarakat. Tak semuanya dengan mudah terjelaskan kepada orang yang tak segolongan.

Dalam barisan tak segolongan itu, untuk kasus golf, tentu saja termasuk saya. Artinya saya sekelas dengan suruhan Pak RT yang tadi mengantarkan tagihan PBB.

Lalu saya tengok iklan lowongan. Banyak penyedia pekerjaan yang mencoba meyakinkan peminat bahwa perusahaannya memang layak untuk dimasuki. Maka penyedia lowongan pramusaji pun bekoar “bukan untuk orang biasa”.

Kebukanbiasaan apa yang dijanjikan? Saya mencoba berpikir positif. Selama ini masyarakat kita menganggap pekerjaan pelayan itu kurang keren, tak semapan pegawai negeri.

Tapi lihatlah di kafe dan resto. Begitu banyak pramusaji muda, terpelajar, sigap. Yang cowok berambut jambul kelimis. Yang cewek lebih beragam lagi gayanya. Di Citos itu malah ada kedai makanan Jepang yang pramusajinya memakai wig warna-warni ala (mungkin saja) anak muda Harajuku dan Shibuya.

Sebisanya mereka mencoba menunjukkan pelayanan yang memuaskan. Dari situ tecermin bagaimana manajemen kedai memformat para pegawai dalam etos kerja, suatu hal yang belum tentu berlaku di instansi pemerintah dan bahkan kantor swasta mentereng.

Lantas saya baca iklan layanan pijat: messages from massage parlours. Saya tak paham apa yang dimaksud dengan “ABG” — penggolongan yang juga ditawarkan para germo dalam koran-koran kuning.

Jika ABG berarti teenagers di bawah 17, dan itu terbukti, jelaslah merupakan pelanggaran hukum. Bisnis seks yang melibatkan anak-anak bawah umur jelas ngawur.

Okelah, itu cuma trik promosi dagang. Bahwa yang mengetuk pintu hotel ternyata wanita usia 28 yang sok imut, itu risiko pemesan — misalnya mengganti ongkos taksi setelah menolaknya. (Hayo, pasti ada yang mau komentar…)

Kekacauan istilah ABG, tanpa batasan umur yang jelas, bagi saya itu sekadar meneruskan tradisi organisasi kepemudaan — termasuk organisasi ekstrauniversiter pada masa lalu.

Tak jelas apa batas usia “pemuda” dan “mahasiswa”. Oom-oom mengurusi organisasi pemuda. Dulu mereka yang sudah sepuh memimpin perhimpunan mahasiswa, dan saya berharap semoga para ketua itu sedang mengambil S3 supaya tetap berstatus mahasiswa.

Dunia bisnis, dan pemasarannya, adalah dunia permainan kata. Maka jangan berkerut kening kalau ada “auto bridal“, menyusul “salon mobil”.

Anggap saja itu sejenis perkembangan layanan spa, dari kaki gunung berpindah ke salon kecil, dan akhirnya ke panti pijat pria di kawasan bisnis. Itulah spa pria yang memunculkan guyon, “Ati-ati kalo ke sana. Bisa ketemu client bahkan the boss!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *