↻ Lama baca 2 menit ↬

BAGI ORANG LAIN SEPELE, BAGI SAYA PENTING.

Sial! Ada ular dalam boks di teras itu. Tuan rumah masih sibuk di dalam.

Lagi-lagi sial. Seorang asisten mengangkut ular itu ke dalam. Saya tak mau masuk. Tak akan masuk.

Nyonya rumah yang cantik dan semanak itu keluar, mempersilakan masuk, tapi saya tetap duduk di teras, dengan alasan mau merokok dulu. Lalu tuan rumah keluar, dan langsung paham alasan asli saya kenapa tetap di luar: ular sudah dimasukkan.

“Iya, emang gue suruh masukin. Di dalam ada beberapa kok,” kata Roy Genggam, tuan rumah yang fotografer itu, dengan santainya.

Sial! Sial! Sial! Dia bilang “be-be-ra-pa“.

Teman-teman tertawa. Mereka tahu saya takut ular. Roy juga tahu. Malah saya pernah bilang tak bakalan mau bertandang ke rumahnya, yang lokasinya jauh dari studio, karena di sana banyak ular. Saya heran, orang baik hati kok suka piara binatang mengerikan.

Saya tak mau tahu dengan dorongan pemberanian dari Roy, “Anak-anak gue berani tuh.”

Saya tak mau peduli meskipun Roy bilang, cewek-cewek seleb yang dia foto itu pada berani pegang ular.

Ini bukan soal perbandingan usia maupun jenis kelamin. Ular adalah binatang yang jahat, culas, mengancam, berbahaya. Silakan dibilang jinak, tapi tetap saja itu ular.

Akhirnya kami masuk ke studio foto setelah mendapat jaminan bahwa ular-ular sudah ditaruh di belakang. Maka selanjutnya obrolan dan curhat pun lancar.

Di tengah diskusi, pikiran saya berbelok. Melamun. Sejak kecil saya takut ular. Dulu ibu saya yang mengatasi kalau ada ular masuk ke rumah. Saya takut. Ngeri. Bahkan dulu membuka halaman Pustaka Time-Life bergambar ular pun saya terkejut, lalu terlonjak, dan segera menutup buku — malah bersumpah takkan membukanya lagi.

Lamunan langsung hilang. Kembali ke soal pekerjaan. Saya, belum lama ini, mengambil keputusan yang penting dan berani, menyangkut pekerjaan dan nasib saya, tapi saya yakini.

Dasar saya impulsif. Tiba-tiba saya bilang ke Roy bahwa saya mau berkenalan dengan ularnya. Saya harus mengatasi rasa takut saya, karena untuk soal lain — pekerjaan — saya bisa berteguh hati. Apalagi ularnya tak berbisa, jinak pula. Saya ingin melakukan hal penting dalam hidup saya, yang menurut orang lain mungkin sepele.

Bermula dari menyentuh, meraba. Lalu membiarkan ular mengitari saya yang bersila dengan celana pendek (saya sering ngantor bercelana pendek). Rada tegang. Apalagi — astaga! — kepala ular sempat masuk ke celah celana. Ada yang nyeletuk, ular itu sedang mencari saudaranya.

Terlalu panjang untuk diceritakan. Akhirnya saya bisa berkenalan dengan ular boa kolombia, ular piton albino, dan ular lainnya dengan santai. Menggendongnya, membiarkan tiga ular bermanja-manja melilit tubuh saya, menjilati pipi dan hidung saya, malah ada yang melingkar menjadi sorban saya.

Hari ini saya melakukan sesuatu yang penting tapi sepele bagi orang lain. Tentu, saya ingat pesan Roy, bahwa perilaku ular jenis pets dan ular di alam liar itu berbeda, sehingga saya harus berhati-hati. Terhadap ular liar saya tidak berani. Dengan ular jinak baru belajar berkenalan. Sekaligus belajar mengapresiasi sisi keindahan setiap makhluk.

Begitu pentingnya pengalaman hari ini sehingga saya melakukan keberanian lain yang sekian lama saya hindari: memasang foto diri yang jelas dalam blog.

Ini keberanian kedua setelah came out dengan domain sendiri, nama asli, dan memasang foto kecil di “about me” serta Gravatar. Narsistik? Apa boleh bikin.

ular roy genggam

© Foto: Roy Genggam (Genggam Photography, Jakarta, 2007) — terima kasih banyak, Roy!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *