ANAK KOTA KURANG MENGAKRABINYA.
“Lho suara apa itu?” tanya si kecil. Saya bilang itu capung. Sayapnya bergetar karena dia ingin membebaskan diri dari keterjepitan di antara tembok dan kaki meja di kamar saya barusan.
Kemudian saya menanya si kecil apakah belum pernah pegang capung. Dia lupa-lupa ingat, kayaknya sih pernah. “Kotor nggak, Pak?” tanyanya. Saya tertawa, “Nggak.”
Setelah saya jerat ke dalam kartu memori, capung itu saya lepaskan. Biarlah dia terbang bebas. Bertemu teman dan mungkin jodohnya. Kopdar di Bundaran HI.
Capung, papatong, kinjeng, kotrik. Masihkah anak-anak kota besar mengakrabinya? Pernahkah mereka mencoba menangkapnya?
Saya membayangkan anak kecil Jakarta yang tinggal di kondominium lantai 33, yang begitu keluar dari menara langsung sampai ke mal yang sekompleks, lantas berangkat-pulang sekolah dalam mobil, padahal selama bersekolah jarang berkejaran di taman, dan jarang diajak blusukan ke alam terbuka…
Mungkin dia hanya tahu capung dari tayangan demo layar gede TV plasma di toko elektronik.
Waktu kecil saya paling senang jika berada di tengah hamparan rerumputan dengan capung beterbangan. Yang paling saya suka, tapi jarang muncul, adalah capung merah.
Menyenangkan sekali waktu SD mengerjakan proyek kolektif insektarium. Kini setelah kamera digital dan ponsel berkamera menjadi benda konsumsi biasa, sudahkah peranti itu dilibatkan dalam belajar dan mengajar?