Spider-Man Mengawal Kebenaran Sederhana

▒ Lama baca 2 menit

SEBUAH CARA AGAR HALAMAN IKLAN DIBACA.

komik spider-man di kompasSudah hampir tiga minggu Kompas memuat cerita bersambung, suatu rubrik yang cukup lama prei. Judulnya Kebenaran Sederhana, karya Jodi Picoult.

Pun sudah hampir seminggu Kompas memuat serial komik Spider-Man, superjohan pembela “kebetulan”. Setelah lama Kompas tak berkomik di luar edisi Minggu, inilah strip komik pertama yang dicetak berwarna (spot).

Selain Spidey ada pula komik Dilbert. Ketiga isian baru itu dimuat di halaman Klasika (classified ads), seksi yang setidaknya berisi delapan halaman.

Barangkali Kompas mengandaikan cerbung dan serial komik selalu dinanti oleh pembaca sehingga mau tak mau, kalau itu diletakkan di halaman iklan, tawaran pedagang akan disergap.

Ketika regulasi pers tiada, sehingga koran boleh menambah halaman tanpa meminta izin Departemen Penerangan, maka keleluasaan itu menantang pengisian. Paling menguntungkan tentu saja penambahan halaman iklan.

Dulu, pada era SIUPP dan Orde Baru, koran tebal puluhan halaman yang berbanyak iklan hanya diwakili oleh koran-koran luar negeri yang masuk ke Indonesia — itu pun kadang ada yang dihitamkan oleh importir (Indoprom) atas “imbauan” dari badan-badan pemerintah. Saat itu koran nasional hanya terbit reguler 12 halaman dan 16 halaman, sesekali bertambah kalau ada “bonus tak terhindarkan” berupa pidato presiden.

Kini setelah koran menebal, sehingga loper dan pengasong mengeluh karena tentengannya jadi berat, persoalannya ada pada konsumen. Dalam batas apa mereka bisa menoleransi iklan yang membanyak? Protes pasif yang bisa dilakukan, kalau kepentingannya tak terwakili oleh iklan, adalah tidak membaca lalu menyingkirkannya.

Komik dan cerber Kompas itu, dalam tafsiran saya, adalah cara agar pembaca mau membaca iklan. Harap maklum, yang dijual oleh media cetak bukan hanya tiras melainkan juga tingkat keterbacaan. Pengiklan juga kian rewel, karena sudah keluar uang. Makin banyak pengiklan yang menanya konsumennya untuk mengukur keefektifan beriklan: “Anda tahu infonya dari mana?”

Bagi saya iklan adalah informasi. Meskipun tak butuh dan belum mampu beli produk tertentu, kadang saya baca juga. Lelang alat berat pun pernah saya baca. Begitu pula lowongan pekerjaan tertentu yang sudah jelas tak dapat saya tembus — misalnya operator backhoe.

Media butuh iklan, karena tak cukup hanya mengandalkan penjualan barang cetakan. Pekerja media juga butuh gaji (agak) layak agar tak kere-kere amat.

Lantas, bagaimana komiknya? Saya teringat, dulu Kompas punya Garth karya Frank Bellamy maupun Martin Asbury (pernah dibukukan beberapa jilid dalam format memanjang). Sekarang, dengan Spidey itu, saya teringat dua hal.

Pertama, karena berwarna, jadi ingat pop art ala Roy Lichtenstein — sayang tanpa raster kasar.

Kedua, sebagai strip, saya teringat Spidey di Suara Merdeka dulu yang terjemahannya enak. Pernah “kid” diterjemahkan sebagai “nang” (dari “lanang“, panggilan untuk anak lelaki). Anehnya Bibi May tak menjadi Bulik atau Mbokdhe Maia. Selamat membaca Harian Selompret — bagus nih buat nama domain blog.

Tinggalkan Balasan