BIKIN AJA PARODI TANDINGAN, PAK!
Kalau pemerintahan beres, adil makmur, gemah ripah lohjinawi, tontonan Republik Mimpi News dot Com justru tak akan laku. Begitulah keyakinan Effendi Gazali.
Pagi tadi dia menemui Gus Dur di RSCM, dan mendapatkan dukungan bahwa “bangsa yang sehat bisa mentertawakan dirinya sendiri”. Malah menurut Gazali, Keluarga Cendana tak tersinggung oleh penampilan Suharta.
Bukan sekali ini dagelan Gazali tersandung. Dulu, menurutnya, penekanan dilakukan terhadap stasiun TV. Sekarang, dia menduga, tekanan diarahkan kepada pengiklan.
Begitulah, ada kabar Republik Mimpi akan disomasi. Masih hipotetis sih. Menkominfo Sofyan Djalil baru mengatakan, “Saya akan mempelajari, jika memungkinkan, kami akan melayangkan somasi,” katanya.
Masih “jika” dan “akan“. Artinya ada prasyarat yang harus terpenuhi. Tapi inilah komunikasi politik. Sekian lama rakyat Indonesia terbiasa dengan ancaman dari penguasa yang dilontarkan melalui isyarat. Apa yang jika biasanya menjadi nyata. Timbunan pengalaman masa lalu dijadikan alat untuk menimbang.
Moral ceritanya, pejabat harus lebih berhati-hati mengeluarkan pernyataan. Apalagi, dengan segala maaf, cara pemberitaan media memang berbeda dari makalah. Peringkasan kalimat judul, atas nama ekonomi kata, bisa menipiskan nuansa. Pada tingkat serapan isu, peringkasannya lebih kuat. Menteri yang mengurusi komunikasi pastilah paham itu.
Taruh kata Pak Menteri, atas nama pemerintah, melayangkan somasi, bagaimana?
Secara hukum, setahu saya, boleh. Orang yang dirugikan atau tak nyaman oleh ulah orang lain boleh melakukan upaya hukum, dari somasi sampai pengaduan. Bagaimana proses selanjutnya, apakah fair atau sontoloyo, itu komedi yang lain lagi.
Ada yang lebih penting sebetulnya. Kita menunggu KUHP baru yang tidak mensakralkan lembaga kepresidenan. Tak ada lagi ranjau penghinaan terhadap kepala negara. Ranjau yang oleh rakyat sakit hati tapi berselera humor tinggi akan ditafsirkan sebagai pembocoran rahasia negara itu.
Tentu siapa pun yang jadi presiden — seperti halnya warga masyarakat umumnya — boleh mengadukan penghinaan dan fitnah yang ditujukan kepada dirinya. Sama seperti misalnya (sekali lagi: misalnya) saya mengadukan Ndoro Bedhes karena menyebut saya berumur 50+, padahal yang benar 70+.
Bahwa hakim akan mengajari saya matematika sederhana — 70 itu lebih besar daripada 50 — itu soal lain. Anggap saja tugas tambahan hakim adalah mendidik. Yang penting saya melakukannya dalam payung delik aduan.
Soal di luar hukum? Misalnya kesiapan masyarakat yang “belum seedukatif itu” untuk mencerna parodi politik?
Jawabannya gampang. Kalau masyarakat belum siap, belum terdidik, ya harus kita siapkan dan kita didik.
Masalahnya, boleh jadi, pada sudut panjang. Somasi, jika benar dilayangkan, oleh pengirimnya juga dianggap sebagai cara untuk mendidik.
Akan tetapi murid yang baik tak menelan mentah sodoran orang yang menempatkan diri sebagai guru. Dalam sekolah besar bernama kehidupan, murid dan guru bisa bertukar peran.
Yang belum jelas bagi saya, misalkan Pak Djalil jadi mensomasi, dia itu sebagai apa dan siapa? Sebagai penonton TV? Sebagai orang yang mewakili pemerintah selain jaksa agung? Sebagai menteri komunikasi dan informatika, dengan job enlargement meniru Harmoko dulu?
Kalau niatnya meramaikan komedi, sebaiknya Pak Djalil bikin parodi tandingan. Namanya Siaran Nyata. Yang jadi sasaran parodi ya timnya Gazali. Termasuk mimpi Gazali mendapatkan Olga Lydia — tapi ini cuma parodi yang dilandasi sirik.
Lho, memangnya Gazali itu kepala negara? Tenang, tujuannya kan bikin komedi.
Sampai di sini, mimpi mewujudkan internet yang amat sangat murah meriah bagi rakyat boleh dilupakan. Bukankah mimpi memerlukan kesiapan rakyat?
Bahkan dulu yang namanya pesawat TV pun merupakan impian. Begitu pula impian pembeli TV zaman dulu: semua channel mewakili stasiun yang berbeda — bukan cuma TVRI. Ketika TV multisaluran secara fungsional menjadi nyata, dan impian dihadirkan di dalamnya, ternyata tak mendatangkan kerelaan.