MEMOAR YANG BERTUTUR LANCAR.
“Alberthiene, apakah kita akan menuliskan banyak tentang penyakit saya?”
Saya menggeleng. “Kita akan menuliskan harapan!”
Itulah percakapan yang dipindahkan ke dalam buku, menjadi penutup dari pengantar panjang. Chrisye Sebuah Memoar Musikal, itu judul bukunya. Ditulis oleh Alberthiene Endah.
Saya tak tahu berapa jarak usia Alberthiene dengan Chrisye yang kini 58 tahun. Tapi apakah jarak usia layak dipertanyakan? Itu sama saja menyoal jarak usia Pramoedya Ananta Toer dengan latar Majapahit dalam Arus Balik, atau saat Pram menulis Kartini.
Tak ada syarat setiap penulis harus mengalami masa yang belum pernah dikecapnya. Alberthiene, yang ultahnya sama dengan Chrisye, mungkin (sekali lagi: mungkin) tak menyaksikan awal karier Oom Chrisye. Tapi itu bukan masalah baginya.
Memoar ini ditulis setelah melalui serangkaian pertemuan dan wawancara — dan tentu juga riset dokumentasi. Bukan pekerjaan gampang. Tak semua penulis bisa. Kapan harus masuk, kapan harus berjarak saat melaporkan, itulah seninya. Kapan berposisi sebagai wakil pengagum, kapan menempatkan diri sebagai pembedah dingin kehidupan tokoh, ini soal pelik.
Kesan saya, Alberthiene melakukan tugasnya dengan baik. Dia berhasil.
Siapa Chrisye? Semua orang akan bilang “musisi”, tepatnya penyanyi. Dalam ingatan masa bocah saya, Chrisye adalah pemetik bas. Menurut keterbatasan apresiasi musik saya, permainan bas Chrisye — selain menyanyi, tentunya — dalam album-album lama itu mengasyikkan. Petikan bas lagu pop yang mengayun, mengisi aransemen Jockie (atau Yockie, atau Joki?) Soerjoprajogo.
Maksud saya album-album pra-Aneka Ria Safari dan pra-Kamera Ria atau sejenisnya. Misalnya album Badai Pasti Berlalu, Jurang Pemisah, Sabda Alam, dan Percik Pesona. Setelah itu album-albumnya kurang menarik. Yah soal selera sih. Hip-hip Hura itu waduhh, ndak enak.
Tapi teman saya bilang justru lebih enak album Chrisye setelahnya. Kalau untuk ramuan musikal AcoustiChrisye, saya acung jempol. Sedangkan proyek musikal yang melibatkan Chrisye, dan saya anggap best punya, ya tetap Guruh Gipsy. Mestinya album itu diluncurkan ulang dan semoga i-Radio mau memutarnya.
Menarik juga bagaimana Guruh Gipsy bekerja, pada 1975/76. Teknologi perekaman di Indonesia saat itu masih sederhana. Teknologi 16 trek atau lebih masih mewah. Untung ada sound engineer sekelas Alex Kumara (dia juga pernah menangani God Bless selain Stanley Teten).
Maka Indonesia Maharddhika pun mengalami dubbing sampai 200 kali. “Di zaman sekarang, proses dubbing sebanyak itu sudah bikin musikus mana pun angkat kaki!” kata Chrisye. (hal. 114).
Saya teringat Bohemian Rhapsody-nya Queen yang mendapatkan penghargaan rekaman abad 20 karena teknologi rekamannya. Dalam sebuah video, Brian May di studionya pernah memperdengarkan beberapa sampel suara “galileo” dan piano roll pembentuk lagu. Sungguh sebuah kerja keras untuk menuntaskan obsesi kreatif. Ingat Bung, saat itu teknologi digital masih miskin.
Penulis mampu memindahkan Chrisye sebagai orang pertama (“saya”) penutur kisah dengan pas. Tuturannya lancar, renyah, tanpa paragraf panjang yang bikin lelah.
Tata letak buku yang ngepop sangat menggiring pembaca. Comotan atau pull out semacam ini, dengan tipografi besar, mengisi satu halaman, menjadi efektif: “Album Aku Cinta Dia membuat saya memahami kebutuhan dunia komersial. Yakni: total look!” (hal. 243).
Bicara soal grafis, bagi saya album-album awal Chrisye (dan kubunya dari Pegangsaan) telah memperkaya kemasan rekaman Indonesia yang dijenuhkan oleh gaya sampul Panbers, Mercy’s, D’Lloyd, dan Koes Plus.
Sampul paket (kaset dan buku) Guruh Gypsy, rancangan Gauri Nasution, adalah pembuka. Desainer yang sama merancang Percik Pesona dan logo Chrisye (sesuatu yang langka pada masa itu; selain Chrisye, Keenan juga punya logo). Mungilnya ukuran kotak kaset menjadi tantangan untuk menghadirkan sampul terlipat yang layak pandang.
Tak boleh dilupakan adalah sumbangsih fotografi dalam sampul-sampul awal Chrisye dan kubunya. Firman Ichsan dan Tara Sosrowardoyo, atau Novapenta dan Zoom misalnya, menghadirkan foto-foto yang tergarap bagus. Pada era pra-Photoshop dan belum ada pencetakan digital, membuat puzzle Chrisye (Pantulan Cita) menjadi melelahkan untuk ukuran sekarang. Ah, andaikan aspek grafis ini dibahas khusus dalam buku ini. Dari mana saja mereka kala itu mendapat (atau meniru) ide?
Chrisye adalah bagian dari sepenggal masa ketika lirik lagu pop Indonesia ditulari oleh gaya Guruh sejak Renjana (sebangsa “rencaka”: gloomy, somber?) dan beberapa lagu di Guruh Gipsy. Gaya tuturan lama, bila perlu mencomot bahasa Kawi dan Jawa Kuno, dan tentu Jawa, sempat menjadi tren saat itu. :D
Ingatlah narasi Sys N.S. dalam Musik Saya adalah Saya (Jockie, Idris Sardi, Chrisye): “Kocap kacarita, adalah sebuah negeri di Khatulistiwa…” Kalau saya tak salah ingat, saat itu pula istilah “kawula muda” lansiran Prambors (Sys? Temmy Lesanpura?) mulai luas diterima. Guru-guru bahasa pusing ditanyai murid.
Chrisye adalah merek. Tentang suara dan musik pop dengan warna khas. Maka setelah dia menjadi mualaf, konversi dari Kristen (keluarga Christian Science?) menjadi muslim, nama Chrisye tetap dipakai. Nama Chrismansyah tak dipakai untuk showbiz.
Chrisye, nama kesayangan yang kebelanda-belandaan, sangat Menteng yang gedongan. Sesuatu yang wajar untuk generasi lama dalam latar waktu 60-an sampai 70-an. Bahkan media saat itu menyebut musik Chrisye dan Keenan sebagai “musik gedongan” :D. Malah Musica Studio’s pernah membuat kompilasi Chrisye, Jockie, Keenan sebagai Musik Elit — bukan “elite”.
Repotnya, lidah kampung di Jawa, terutama saya, kadang susah melafalkan “kris-sye”. Lebih sering: kri-se. Dalam sampul Badai Pasti Berlalu, bersama Eros Djarot dan Jockie, nama Chrisye masih ditulis “Christian”. Saat itu dia belum tenar.
Memoar ini tak tenggelam dalam kenangan indah (termasuk masa-masa bokek) yang dituangkan kepada seorang sahabat yang mendengar di samping ranjang, karena Chrisye menjalani hari-hari menyakitkan akibat kanker paru-paru.
Alberthiene telah mengemas harapan (selama ada hari esok, hidup harus dijalani dengan syukur), dan sejumput inspirasi seperti umumnya kisah sukses. Si introvert, yang dulu canggung banget di panggung, berani menetapkan jalur karier bernama musik.
Pada tahun 70-an, menurut Chrisye, menjadi musisi itu, “Identik dengan kere, tidak bermasa depan cerah, tidak bergengsi, dan tidak intelektual.” (hal. 15).