DARI ANAK, LEWAT ORANG DEWASA, UNTUK ANAK.
Saya ambil satu dari meja kasir. Lantas saya minta tolong Mbak Kasir untuk menyatukannya dengan buku-buku dalam tas kresek.
“Maaf,” kata Mbak Kasir, “yang ini nggak gratis, Pak.”
Dua ribu rupiah harganya. Pernah selintas saya mendengar tentang koran anak, tapi lupa namanya. Ternyata majalah 16 halaman yang saya kira gratis inilah barangnya.
Berani, namanya. Sigkatan “Berita Anak Indonesia”. Menyebut diri sebagai “koran anak pertama di Indonesia”. Dicetak di atas kertas koran, baik sampul maupun isi. Ini mengingatkan saya pada bacaan bocah saat saya belajar membaca: Si Kuntjung. Dulu ada koran mininya, yang diisi oleh Warcil (wartawan kecil) dan Juwarlik (juru warta cilik).
Bentuk media lama — yaitu cetak — masih bertahan, dan tetap ada saja yang mencoba melayani anak-anak, bersama acara TV untuk bocah, bahkan saluran khusus anak-anak, dan sajian multimedia lainnya. Sempat ada Krucil (kru kecil) di TV, tapi memunculkan ekses: seorang cewek reporter mungil sebuah majalah berita diledek sebagai krucil.
Dalam media cetak, sajian untuk anak ada yang muncul sebagai majalah khusus. Misalnya Bobo, Mombi, dan Orbit. Ada pula yang menjadi rubrik atau lembar khusus koran. Misalnya halaman Anak di Kompas dan lembar Iptek untuk bocah di Koran Tempo.
Untuk halaman Anak di Kompas, meskipun isinya sudah berbeda, itu seperti mengembalikan sesuatu yang selama tiga dasawarsa hilang. Dulu pernah ada, kemudian memisahkan diri menjadi Bobo. Sama seperti halaman remaja akhirnya dilepas menjadi majalah Midi, yang SIT dan kemudian SIUPP-nya (maklum era lama) menjadi Hai.
Dulu, selain Si Kuntjung, ada pula Kawanku. Uniknya, majalah anak-anak Kawanku itu diterbitkan oleh aktivis, antara lain Asmara Nababan. Saat itu dia masih jadi demonstran (eh, tetap ding), aktivis Golput (antara lain bersama Arief Budiman), dan aktivis rembuk budaya yang bermarkas di Balai Budaya.
Kawanku versi lama, selain punya bonus koran bocah bernama Kawanku Gazette, menyajikan sesuatu yang beda dari Si Kuntjung. Yang langsung tampak adalah ilustrasinya: terlalu nyeni untuk ukuran anak-anak masa itu, karena “tidak realistis”, tidak mirip dengan ilustrasi buku pelajaran. Gaya Sanggar Bambu ada di sana. Yah, itulah Kawanku: mengasah apresiasi anak-anak terhadap sastra dan seni rupa.
Menulis untuk anak-anak itu susah. Tak semua penulis mampu. Renny Yaniar bisa bercerita, baik membuat cerita anak maupun menceritakan proses kreatifnya kepada kita.
Dunia anak-anak. Dari sisi ideal, dunia mereka mengundangkan panggilan bagi orang dewasa untuk memberikan banyak hal yang diyakini baik untuk masa depan mereka. Maka beberapa lembaga keagamaan pun membuat majalah anak. Dari sisi bisnis ini juga peluang. Dari segi politik, atau apa pun atas nama kepentingan negara, ini juga tugas — setidaknya tugas berbingkai kehumasan.
Maka ada National Geographic Kids. Bahkan Time pun bikin Time for Kids. Sedangkan CIA secara terang-terangan membuat situs untuk anak: CIA’s Homepage for Kids. Portal federal juga ada: Kids.gov. Yang menantang bagi anak-anak mungkin ini: CryptoKids milik National Security Agency.
Di Indonesia ada Deplu Junior. Kita tunggu Tempo Bocah versi cetak maupun online. Situs BIN Anak? Atau web BAIS Anak? Huss. Tatuttt. Situs KPK untuk anak kayaknya lebih perlu. Begitu pula situs DPR-RI untuk Anak atau Parlemen versi bocah.
Tapi semua itu akan lebih hidup jika memberi kesempatan anak untuk bicara. Bukan zamannya lagi menyuapkan info searah secara father knows best. Interaktivitas, berbasis komunitas, itulah mantranya.
NB:
Saya sempat keliru karena kurang teliti. Mulanya saya menyangka Maverick bikin situs anak Maverickid(s).