ADA CARA MENGUSIR BAU PETAI & JENGKOL.
Tengkleng enak di Warung Miroso, Kebayoran Baru. Nasi bogana (begana?) di Tanjungduren. Masakan Padang enak di seluruh cabang Rumah Makan Garuda. Semuanya di Jakarta. Semuanya pernah saya datangi? Tidak, eh belum.
Jakarta adalah sebuah kuali adonan besar. Saya bersua banyak suku ya di Jabodetabek.
Pengalaman kultural saya sebelumnya ya waktu kecil, di Salatiga, Jawa Tengah, yang waktu itu masih berupa kota sembilan kelurahan (satu kecamatan) seluas 27 km2, dan menjuluki diri “Indonesia mini” karena ada banyak suku di sana.
Indonesia mini? Saya rasa belum. Memang terdapat sekian suku non-Jawa, tapi keragamannya tak tinggi. Mereka datang suku yang berlatar Kristen, kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, dan sebagian bekerja lalu menetap di Salatiga.
Sejauh saya alami (saat itu), saya tak menjumpai orang Aceh, Bugis, atau Palembang. Orang Madura ada, diwakili oleh tukang cukur di Jalan Pemotongan dan para penjual sate. Orang Minang, saya lihat sosoknya waktu ada Toko Baretta di Jalan Sudirman, dan kemudian rumah makan padang pertama di Salatiga.
Ketika pindah ke Yogya, saya mengenal lebih banyak suku. Saya bergaul dengan mereka.
Di Jakarta, saya menjumpai lebih banyak keragaman, termasuk masakannya. Bahkan keragaman masakan Cina pun saya kenal di Jakarta. Tentu dengan bumbu lelucon soal lafal. Sebagian orang Jawa, dan bahkan keturunan Cina Hokkian di Jawa Tengah, bilang “capjay” — tapi di Jakarta, dan secara nasional, namanya adalah “capcay”.
Ada berapa banyak penyaji masakan daerah di Jakarta? Tak semuanya terdata — dan memang tak mungkin (atau tak perlu?), kecuali izin usaha diberlakukan ketat, dan pemda mengolahnya menjadi data siap saji, bukan cuma mengutip pajak.
Jika Anda ingin memanjakan citarasa kuliner, panduan jajan dari majalah Intisari ini lumayan: memuat 100 lokasi jajan makanan daerah. Lengkap dengan alamat dan nomor teleponnya. Harga bukunya pun murah.
Tentu yang namanya reviu kudapan apa pun tak selamanya selidah serasa dengan pengalaman pembaca. Gudeg lesehan di Melawai, misalnya, yang dirujuk oleh buku terbitan Intisari itu, bagi saya tak sesedap gudeg di emper Anta(Express) Tour, Jalan Hayam Wuruk. Gudeg Bu Harjo di Pasar Cikini, bagi saya, wuenak tenan untuk sarapan.
Untuk swike, yang enak ya yang di Jalan Biak (dan cabangnya di Jalan Panjang). Bebek goreng? Yang di Jalan Suryo dan Jalan Matraman (Kayutangan) lebih enak daripada Yogi yang di Kebon Jeruk (ada yang bilang, wong yang enak sambalnya). Bebek presto Hayam Wuruk (dari Denpasar)? Nyammm… lezat.
Untuk bubur ayam, paling enak di Jakarta ya yang di Mangga Besar — lengkap dengan ayam rebus dan telur seribu tahun, plus jahe dan daun ketumbar.
Soto? Tergantung soto mana. Soto gading (bukan Solo, tapi gaya Semarang ) ya yang di Stasiun Kalibata. Soto jawa-timuran yang enak ya Soto Lamongan di Kelapa Gading yang berubah nama jadi Java Kitchen itu.
Masakan Batak ya di Lapo Nitodongta Lapo Ni Tondongta. Masakan Minang rasa Melayu Deli ya di Garuda. Kalau mau masakan serbapedas yang kurang ajar ya di Mbah Jingkrak, Bulungan.
Selebihnya soal selera pribadi. Beda lidah beda kecocokan. Selanjutnya adalah milis jajanan dan blog jajanan. Tapi saya tak ikut milis supaya tak tergoda. Blog Jenz saya hindari sebisanya supaya iman tak runtuh, dan kantong tak mengempis. Acara Bondan Winarno dan penerusnya, juga sejenisnya, di TV? Saya jarang nonton TV, maka tak mengikuti.
Lebih mendasar lagi: saya memang bukan pengudap. Saya makan sekadarnya, dan saya memang bukan pencicip yang canggih. Orang Jawa bilang “ilat kere” (lidah kere). Sudah begitu, kantong saya memang kantong kere, bukan kantong bendahara maupun bandara (Jawa, baca: “bandoro”, bukan bandar udara, artinya ndoro).
Maka nasi goreng gila di Menteng saya anggap biasa. Roti bakar Edi dan periferalnya tidak istimewa (orang bilang, “Suasananya dong!”). Steak Abuba tidak enak (orang bilang, “Gaul dong, jangan cuma makan!”), dengan harga yang sama ada yang lebih lezat di Jatinegara (Four-Seven).
Seafood murmer enak? Saya punya langganan. Namanya Ary Seafood, di Jalan Raya Hankam, Pondokgede. Lezat, terjangkau, penjualnya semanak. Tapi tempatnya agak kotor. :)
Dunia jajan adalah bagian dari geliat ekonomi. Ketika kesejahteraan orang membaik, maka lidahnya mencari petualangan. Kelak ketika semua orang bertambah makmur — dan tiada perang, wabah penyakit mematikan, maupun terorisme — orang-orang akan membuang uangnya untuk jalan-jalan dan makanan.
Jadi? Panduan ini perlu. Tapi jangan bandingkan dengan buku Laksmi Pamuntjak*. Buku dengan desain grafis elok, rancangan Hermawan Tansil LeBoYe (fotografi oleh arsitek Yori Antar), itu memang untuk orang yang (sok) bercanggih-canggih (harga waktu itu Rp 150.000), tapi doyan yang murmer sampai kelas Resto Cengkeh, Dapur Babah, Cilantro, dan yang lebih tinggi.
Buku Laksmi komplet, dengan pengindeksan yang bagus. Tapi buku Intisari punya tip bagus di halaman akhir: cara mengusir bau petai. Bukan dengan makan jengkol, melainkan dua butir vitamin B. Anjuran yang nggak ngefek buat saya karena saya nggak belum doyan petai apalagi jengkol.
*) Jakarta Food Guide 2002-2003, Pena Klasik, Jakarta, 2002. Buku 433 halaman ini mereviu Lebih dari 550 resto.
NB:
Panduan jajan dalam arti lain, silakan ikuti panduan Mouamar Emka atau Bintang Mawar. Namanya, kayaknya, diilhami dari sebuah ruko bordil di Lokasari (kalau jam kerja juga ramai, isinya orang kantoran). Janji ya, kalau ketemu saya di sana kita pura-pura tak saling kenal — atau salah satu harus ngumpet dekat akuarium arwana. Di dalam ruko itu kadang ada anjing-anjing bagus, piaraan bosnya, yang ngantor di lantai 3. Salam untuk para mami — termasuk Mami Kemayu berkelamin pria. Tapi maaf, tak akan ada anak blog “jajan-menjajan”, apalagi pakai foto.
One Comment