↻ Lama baca 3 menit ↬

LAGI, BUKU KATA-KATA…

tesaurus bahasa indonesia eko endarmokoRancap. Hah? Lengkapnya: Rancap Ismail. Lho? Di sebuah kota di Jawa Tengah pernah ada penjual sate yang penuh percaya diri memasang merek dagangnya dengan nama depan dirinya. Saya, mbakyu saya, dan suaminya, terbahak-bahak.

Entahlah bagaimana riwayat ayah Cak Rancap menamai anaknya. Yang kita tahu, rancap adalah kegiatan seks swalayan.

Hayo, mulai nulis jorok ya? Nggak. Baik KBBI, KUBI, maupun Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) menyatakan bahwa rancap memang berarti masturbasi atau onani.

KUBI mengartikan rancap sebagai “hal memuaskan hawa nafsu syahwat dgn jalan yang tidak sewajarnya”. Ada pendekatan normatif di situ. KBBI pun demikian, dengan tambahan diapit kurung “dng tangan dsb”.

Tapi bisa jadi ayahanda dari tukang sate itu memakai rancap dalam pengertian kedua, serapan dari bahasa Jawa, yang menurut KUBI dan KBBI adalah “rancung, runcing, tajam sekali”. Tukang rancap, dalam KUBI, berarti “tukang mengasah senjata”.

Apakah swalayan memang seperti mengasah senjata? Menurut KBBI, “merancap” juga bisa berarti “menajamkan senjata”.

Sedangkan TBI mengartikan “merancap” sebagai “v: bermasturbasi, beronani, main sabun, menyabun (cak)“. Di luar urusan sabun-menyabun, TBI juga menjelaskan bahwa rancap, sebagai kata sifat, berarti tajam dan runcing.

Baiklah Ki dan Nyi Sanak, sekarang kita merancap kemampuan berbahasa. Apa bedanya kamus dan tesaurus?

Baik KUBI maupun KBBI mengartikan kamus seperti yang kita kenal. Dalam pemahaman sederhana saya: buku yang berisi penjelasan arti setiap kata. Sedangkan Tesaurus memadankan “kamus” dengan “bausastra (Jw), leksikon, tesaurus, vokabuler”.

Memang, tesaurus bukanlah kamus. Secara gampangan tesaurus bisa kita artikan sebagai daftar padanan kata. Lha apa bedanya dengan kamus sinonim? Memang mirip. Hanya saja tesaurus berusaha menjelaskan lebih lengkap. Dalam penjelasan Eko Endarmoko, penyusun TBI, tesaurus mencakup “uraian tentang ihwal atau konsep dalam berbagai bidang kehidupan atau pengetahuan.” (Mukadimah, hal.vii).

Lantas apa bagusnya TBI? Bagi saya bagus, dalam arti bakal berguna karena akan membantu saya berbahasa Indonesia, misalnya untuk memperkaya pilihan kata dalam menulis.

Sudahkah saya membedahnya lema demi lema? Belum — dan tak usah. Sebagai ganjal pintu (pinjam istilah Mbilung), kamus dan sejenisnya memang tidak untuk langsung dibaca sampai habis. Hal yang sama berlaku untuk buku telepon dan daftar logaritma. Selebihnya ya untuk bantalan kepala Sir Mbilung M(a)cNdobos.

Dalam perjalanannya, karena pemanfaatan dan pembedahan oleh banyak orang, kekurangan sebuah buku daftar kata akan ketahuan untuk kemudian diperbaiki. Kamus yang andal adalah kamus yang terus direvisi.

Karena itulah saya menyampaikan tabik penuh takzim kepada Eko atas ketekunannya menyusun TBI. Dia mencicilnya sejak medio 1980-an, kemudian pada 1993 dia takjub karena kartoteknya “kian menggunung”, sehingga dia terpacu untuk menuntaskannya. Ini jelas pekerjaan melelahkan, harus selalu siap menuai kritik bahkan kecaman, dan tak boleh menolak bila tercebur dalam sengketa kebahasaan.

Menyusun sebuah daftar kata berarti melakukan pembakuan menurut keyakinan diri. Maka saya pun bersetuju dengan Eko perihal “erotisisme”, suatu istilah yang dalam KBBI punya kembaran “erotisme” yang berarti “erotisisme”. Jangan salahkan orang media jika mereka sering memakai “erotisme” karena KBBI menenggangnya — lagi pula yang lumrah cenderung dianggap benar.

Eko (48), redaktur jurnal kebudayaan Kalam, telah memulai langkah besar. Kita berharap akan banyak yang mengikuti jejaknya, dengan mengembangkan isi kamus dan sejenisnya.

Saya bayangkan kita tak akan kerepotan saat menggunakan pengolah kata berbahasa Indonesia karena ada pemeriksa ejaan yang bisa meringankan beban mata dan ganjalan benak Benny Chandra akibat tebaran “slaha fkous”; dan lebih penting lagi pengolah kata itu punya tesaurus. Tukangkoran dan Imponk akan berbahagia jika semua aplikasi penata letak sanggup memenggal kata-kata berbahasa Indonesia dengan benar secara otomatis.

Sebagai rintisan yang dapat terus diperkaya sekarang ada Kamus.net, Wikitionary Indonesia, dan Wikiquote Peribahasa. Kita harus menyalip tesaurus di web seperti yang dipunyai Malaysia.

Kita nantikan isi KBBI, KUBI dan kamus lainnya dipindahkan ke jejaring maya seperti ayat-ayat Alkitab di-online-kan. Jika terwujud, kita kelak dapat memilih arti kata versi siapa yang akan kita rujuk.

Tanpa pendokumentasian daftar kata, kekayaan bahasa kita bisa menyusut. Akan banyak kata, dan ungkapan, yang menjadi fosil, seperti dinosaurus, karena tak digunakan lagi oleh penuturnya. Menjadi fosil, artinya, kalau ditemukan. Kalau tak ditemukan? Kata-kata itu telah lenyap, melarut dalam perut waktu.

JUDUL: Tesaurus Bahasa Indonesia • PENYUSUN: Eko Endarmoko • PENERBIT: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006 • TEBAL: xxi + 736 halaman • HARGA: Rp 170.000

Baca juga:
+ Jay mengaku sulit berbahasa Indonesia
+ Saya selalu gombal dalam berbahasa
+ Sebuah opus, sejumlah catatan
+ Peluncuran Tesaurus
+ A dictionary we’ve long been waiting for
+ Pengulangan dalam Tesaurus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *