↻ Lama baca 2 menit ↬

CERITA DARI WILAYAH TERENDAM.

Ban bekas dengan bayi di atasnya
mengapung di atas genangan banjir
bergerak dalam pegangan ayahnya.
Konvoi perahu karet lewat
angkut istri pejabat.
Mereka tak hiraukan ban berbayi.
Riak gelombangnya
mendorong ban bayi menepi
nyaris menghempaskannya ke pagar.

banjir jakarta

Di Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, yang beberapa titiknya tergenang sampai setinggi kira-kira 170 cm itu, perahu karet bukannya tak ada. Kadang malah berlalu-lalang. Di saat tertentu perahu hanya parkir, ditunggui awaknya sambil memancing.

Bagi warga yang bertahan di loteng, karena enggan berdesakan di pengungsian, perahu karet (ada yang bermotor tempel) adalah harapan warga untuk pergi ke toko, berbelanja kebutuhan dapur.

Perahu tiup itu juga menjadi andalan orang luar, termasuk sanak-saudara, untuk mengunjungi korban banjir dan menyalurkan bantuan.

Di sana, di sebuah rumah di wilayah RT 018 / RW 010 (bukan bagian dari Kelapa Gading Permai), Dirman, teman saya, tetap bertahan di lantai dua bersama istri (dia nikahi tiga pekan lalu), ibu, ayah, dan neneknya.

Setiap hari Dirman (27) menyeberangi genangan untuk berbelanja dan… mengisi baterai ponselnya di sebuah pertokoan sejauh satu kilometer karena listrik di rumah padam. Belanjaan ditaruh dalam ember. Selama perjalanan ember terapung itu tinggal didorong.

Berikut ini kisahnya, yang dikirim via e-mail, dan saya publikasikan dengan seizin Dirman. Sebelumnya kami lebih sering berkomunikasi via SMS, bukan halo-halo, agar baterai ponselnya awet.

Suatu hari aku dan istri pulang dari perjalanan mencari bahan makanan untuk stok selama banjir. Jalan yang tidak rata membuat tinggi genangan air tidak rata pula. Kadang setinggi dada orang dewasa, kadang seleher orang dewasa.

Sampai pada tinggi air semulut istriku, aku memutuskan berhenti sejenak untuk menunggu boat yang katanya bantuan dari Angkatan Laut.

Tidak lama lewat di depanku boat berkapasitas 12 orang bertuliskan “marinir” dan bermesin motor. Tanpa ragu aku panggil dan bilang kalau aku mau nebeng sampai ke tempat yang dangkal.

Aku berani berteriak kepada orang boat itu untuk minta tebengan karena penumpangnya cuma ada 3 orang dan itu kru penyelamat semua.

Tapi suaraku tidak digubris walau aku yakin kalau suaraku itu kencang dan pasti terdengar jelas karena jarak kami dan boat tidak jauh, tapi ya sudahlah….

Perahu ke-2 lewat berisi 7 orang, 4 orang kru penyelamat, 3 orang berpakaian rapih. Aku yakin itu bukan korban tapi aku tidak tahu mereka itu siapa. Mereka hanya memegang handycam dan kamera.

Perlakuan yang sama aku dapat, suaraku tak diacuhkan pula, sampai suatu saat ada seorang bapak dengan setengah nada marah memberhentikan boat tanpa mesin itu agar menolong kami.

Mungkin bapak setengah marah itu nggak tega meliahat istriku yang hampir tenggelam. Akhirnya kami bisa naik boat itu menuju ke rumah kami.

Perkiraanku naik boat bantuan itu akan nyaman. Rupanya perkiraanku salah besar. Sepanjang jalan menuju ke rumah kami banyak cercaan dan suara-suara pedas dari para korban yang tidak terangkut oleh boat.

Jelas sekali cercaan mereka itu ditujukan kepada manusia yang berada di boat kami.

“Niat jalan-jalan atau nolong sih?”
“Udah ga usah nolong, piknik aja!”,
“Udah tau banjir kok malah foto-foto!”

Itulah sebagian isi cercaan mereka.

Akhirnya penderitaan kami di atas boat itu selesai karena perahu sudah berada di sekitar rumah kami.

Di hari-hari lainnya aku juga melihat 4 boat jalan beringinan. Boat itu berisi rombongan ibu-ibu yang seragamnya mirip Dharma Wanita dan para pejabat yang ketawa-ketiwi, mungkin karena mereka bisa naik perahu dan difoto-foto.

Rombongan itu melewati bayi kira-kita berumur 5 bulanan yang sedang mengungsi dengan ban dalem bekas. Bayi itu diwadahi gendongan yang mirip ransel lalu diikatkan dengan ban. Gelombang yang dihasilkan oleh boat menjadikan ban itu terpelanting hampir membentur pagar orang.

Bayi itu mungkin belon boleh naik perahu karena masih kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *