ETIKA IKLAN DAN AKAL SEHAT KONSUMEN.
Indomobil mengiklankan klaim diri atas keunggulan Suzuki Grand Vitara dalam menghadapi banjir. Bukan hal baru. Isuzu selalu melakukannya, karena ground clearance mobilnya memang cukup tinggi. Tepatnya: lebih tinggi dari sedan ceper hasil modifikasi. Ford Escape juga pernah melakukannya.
Bedanya, cara Indomobil lebih lunak. Mobil dengan logo S sudah kuat menyampaikan pesan. Tidak, saya tak hendak mengajak diskusi soal angle, suatu hal yang di koran juga dilakukan untuk mendapatkan foto dramatik. Juga tidak untuk image editing (misalkan dilakukan) yang menjadikan mobil sangat menonjol.
Indomobil cuma menyampaikan headline dua kata, tak menonjol, “Jangan lagi…” Selanjutnya teks “pesan sosial” untuk menjaga lingkungan. Baru kemudian di bawahnya ada kreditasi: lokasi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jumat 2 Februari 2007 pukul 15.59, difoto oleh Riza Ishak.
Etiskah iklan itu? Bagi saya masih etis. Namanya juga jualan. Boleh dong memamerkan keunggulan produk. Sama sahnya dengan iklan obat cacing dan disinfektan untuk menghadapi banjir. Lagi pula, sejauh saya tahu, banjir tak disebabkan oleh Suzuki.
Bagaimana dengan iklan perumahan dan apartemen yang menyertakan splash “Bebas Banjir” — dengan disklaimer yang tak terucap: saat dibangun memang aman dalam hujan deras?
Persoalannya ada pada janji. Celakanya, janji selalu disertai prasyarat. Jika genangan melebihi batas kemampuan mobil, maka itu berarti nestapa. Untuk apartemen, bisa saja pengembangnya berkilah, “Pelataran dan basement boleh terendam, tapi penthouse-nya nggak kan?”
Yang diharapkan produsen dari konsumen saat menelan janji adalah “gunakanlah akal sehat, semua ada batasnya”. Ibaratnya, kalau merujuk iklan lama, pemampangan foto Peugeot 206 berlaga di medan WRC tak berarti mobil berseri sama di showroom bisa diperlakukan sama.
Masalahnya, ukuran akal sehat produsen dan konsumen seringkali berbeda. Apalagi iklan juga punya keterbatasan dalam keunggulannya: tak mungkin menjejalkan semua informasi verbal agar tak kehilangan inti pesan.
Jika menyangkut “etika visual oleh koran”, memang ada sejumlah hal menarik untuk didiskusikan. Suatu hari di halaman yang sama ada berita penggusuran dan iklan display properti.
Bagi saya itu tak terhindarkan. Media buyer kadung pesan kapling iklan jauh hari dan editor desk kadang tak punya pilihan untuk menempatkan berita. Yang penting beritanya faktual dan akurat.
Bagaimana dengan majalah berita memasang advertorial dari perusahaan perusak lingkungan? Yang penting tetap menampilkan liputan yang kritis — dengan maupun tanpa iklan dan advertorial yang bernada menyangkal. Semua pihak harus dilayani.
Uh, kok apologis banget sih? Nggak seru nih. :D
© foto sumber ilustrasi: Kompas, Rabu 7/2, halaman 10