DUNIA ANAK, DUNIA RIANG.
Sepotong soal ulangan PMP untuk SD pada abad lalu. Mengisi titik-titik. Bunyi soal: “Jika banjir, maka anak-anak….”
Keponakan saya menjawab: “senang”. Ternyata menurut gurunya jawaban itu salah. Keponakan saya menjawab berdasarkan apa yang sering dia lihat di TV: anak-anak yang riang bermain dalam genangan banjir.
Jawaban sesuai buku kunci adalah “anak-anak susah”. Yah, penyusun soal dan buku pelajaran tak salah. Memang ada kesusahan dalam musibah, sehingga layak dicontohkan untuk menggugah kepedulian. Sayang, orang-orang dewasa kurang hirau faset kehidupan.
Namanya juga bocah, di lokasi tertentu mereka bosan kalau hanya diam menunggu air menyurut. Itu pula sisi minat insani yang ditangkap lensa fotografer koran dan kamerawan TV: dunia anak adalah dunia main. Air cokelat bukan soal. Gatal-gatal itu risiko.
Ketika jalan depan rumah menjadi kali, tapi untunglah airnya tak bertamu ke rumah, anak-anak saya biarkan kêcèh (bermain air). Mereka senang. Kalau ibunya pergi ngantor, berarti bapaknya membolehkan mereka berbasah-basah.
Saat itu, untuk kesekian kalinya, ibu saya menelepon dari Yogya, menanyakan kabar kami. “Bocah-bocah piyé?” tanyanya. Saya jawab, mereka sedang kêcèh genangan banjir. Ibu saya tertawa, “Kayak kamu dulu, kalau hujan pasti buka pakaian, keluar, berlarian…”
Dulu di Sinoman, Salatiga, semasa saya bocah, pada suatu sore yang berhujan deras, saya berbasah-basah menikmati guyuran dari langit. Halaman rumah dan gang samping tertutup air cokelat sekitar semata kaki. Asyik. Tapi saya lupa bahwa pagi sebelumnya tukang barusan menyelesaikan pembuatan jugangan (lubang galian untuk membakar sampah). Lubang baru itu tertutup air. Saya melintas. Dan jegurrr… air cokelat sudah seleher.
Baca juga: Kita tak punya got & gorong-gorong bersih