WANITA MODERN TETAP TAKUT USIA DAN KHAWATIR TAK LAKU?
“Tunangan itu perlu. Buat penjajakan sebelum nikah. Kalo nggak cocok ya putus aja. Lebih mudah daripada cerai setelah menikah,” kata seorang wanita.
“Nggak usah pakai tunangan. Biar kata udah nikah, ada anak segala, kalo emang udah nggak bisa diselamatkan ya divorce,” kata wanita lainnya lagi.
“Mau pakai engagement atau langsung married, masalahnya ada nggak niat untuk me-manage hubungan? Masa sih nikah buat bercerai? Lantas buat apa kita pacaran serius?” wanita lainnya menimpali.
“Enakan langsung nikah, cerainya kan nggak segampang putus pacaran atau tunangan. Lagian secara kepentingan wanita, rugi dong kalo udah jauh ternyata nggak jadi married. Umur nambah, stok lelaki sebaya atau lebih tua makin tipis, persaingan dengan yang muda semakin ketat soalnya mereka kan lebih fresh dan atraktif!” sergah wanita berikutnya yang sedari tadi diam.
Topik kuno. Tak ada hubungannya dengan banjir. Bahkan saya ingat setahun yang lalu, Januari 2006, Kis FM Jakarta pernah mengobrolkannya dalam hujan malam, dengan mayoritas penanggap (entah kenapa) wanita. Eh ya, kayaknya itu stasiun memang digemari wanita lajang.
Topik lawas tapi belum kedaluwarsa. Masing-masing alasan ada benarnya, tapi susah diaduk jadi satu.
Anehnya, alasan keempat, yang menyangkut masa edar produk bernama wanita lajang, cenderung diamini. Ketika usia bertambah maka (sebagian) wanita merasa persaingan makin ketat. Bahkan untuk membidik pria idaman, hahahaa emang gitu guyonnya… mereka harus bersaing dengan brondong gay.
Maka baiklah, masalahnya kita geser saja, melenceng dari judul. Bukan soal pertunangan melainkan usia. Sebagian wanita — sekali lagi: sebagian — mencemaskannya, dan dari sebagian itu ada yang tak mau mengakui.
Kenapa tak mau mengakui entahlah. Malu? Masa sih? Jadi lajang kok malu. Tapi mengaku blak-blakan butuh suami (dan akan memburunya)? Ada gengsi atas nama “wanita punya bahasa sendiri”. :P
Ehm saya teringat sejumlah dongeng tentang wanita, atau bapaknya si wanita, yang mengumumkan butuh suami (atau menantu, bagi bapaknya) lantas bikin sayembara untuk peminat. Artinya, pengakuan butuh laki itu tak tabu.
Tapi seorang sinis meralat, “Karena wanitanya cantik. Coba kalau jelek.”
Uh, apa bukan karena cantik dan banyak fans makanya bikin seleksi? Secara pemasaran lebih masuk akal. Bang Sinis bilang, “Jelek tapi bikin kompetisi, hadiahnya kudu worthy banget.”
Uh kok ngelantur? Biarin, daripada ngomongin banjir melulu. Lantas saya ingat “rumus gombal 52:25“. Apakah masih berlaku? Kalau masih, wah gombal bener kehidupan ini.
Dua orang pria, yang satu masih 25, yang lainnya 40, sama-sama lajang, punya pendapat sama: wanita lebih peduli dan lebih menginginkan pernikahan/perkawinan.
Wanita, kata mereka, cenderung menyukai topik pernikahan; makanya undangan nikah dan resepsi pernikahan orang lain akan mereka bahas habis.
Semoga pendapat kedua pria itu salah. Tapi tiba-tiba saya teringat sejumlah rubrik konsultasi. Lebih banyak wanita penanya yang merisaukan “ketidaklakuan” (lha emang dagangan?). Bisa jadi pria banyak yang risau tapi enggan berkonsultasi.
Kalau gombalan saya berbunyi, “Inilah perbedaan pria dan wanita. Pria maunya masih pacaran tapi udah kayak nikah, sedangkan wanita penginnya udah ikah tapi seperti masih pacaran. Celakanya dua hal itu kadang susah dipertemukan, bahkan setelah menikah.”
Seorang ibu menatap tajam, “Bagaimana dengan putri-putri Anda kelak?”
Sejauh ini jawaban saya tetep, “Terserah mereka setelah dewasa karena kehidupan mereka adalah milik mereka sendiri. Menikah atau melajang itu soal kebutuhan, bukan keapabolehbuatan maupun kelumrahan.”
Entahlah apa jawaban saya kelak setelah anak-anak beranjak dewasa. Saya seorang ayah (dan suami). Apa yang saya yakini waktu muda bisa saja berubah di senjakala usia saya nanti…
Baca lainnya:
Wanita mau lebih, pria minder. Wanita boleh matre, pria tidak. :D