↻ Lama baca 2 menit ↬

EROTIKA: SETELAH HAHAHIHI LANTAS APA?

Korek gas bergambar seksi

Memang ini barang ndesit. Anak-anak saya geli, “Korek apaan nih, Pak? Hahaha adaaaa…. aja.” Istri saya hanya tersenyum.

Bukan barang baru. Juga bukan posting yang mestinya masuk ke Gombalabel. Korek gas bergambar cewek seksi ini hanya meneruskan bolpen zaman dulu yang kalau dijungkir akan memelorotkan rok wanita. Bolpen yang dibawa anak-anak laki untuk hahahihi tapi berisiko penyitaan oleh guru dan pemanggilan orangtua oleh sekolah…

Korek gas seharga Rp 2.000 ini cuma kelanjutan dari geretan logam yang dulu — entah kenapa — dibilang koreknya orang kapal karena berhiaskan gambar wanita berbusana seksi bahkan bugil. Bedanya yang ini cuma korek plastik yang terbalut stiker, selayaknya botol minuman terbungkus etiket, hasil penempelan massal oleh mesin.

Tidak, saya tidak bicara seni kemasan maupun melontarkan gombalan yang diarahkan ke sok seni pop. Saya cuma berpikir satu hal: andaikan UU Antipornografi diberlakukan, apakah korek macam ini akan dirazia? Sebuah pertanyaan basi ketika kontroversi itu sedang mengendap.

Erotisisme juga menyangkut rasa ingin tahu. Beberapa benda kecil bisa menjadi media penguak obsesi tabu. Manakah tampilan seksi yang aman dan bisa ditoleransi, dan manakah yang berlebihan bahkan cabul-kasar, masyarakat lebih tahu. Dengan catatan: beda kelompok beda pandangan. Yang menoleransi pun masih menyertakan catatan, misalnya, “Kalo cuma buka dikit nggak soal.”

Andaikan korek ginian digemari, mestinya menjadi dagangan dominan para pengasong. Nyatanya tidak. Pembelinya pun kadang malu kalau ketahuan membawa korek ginian, kecuali niatnya melucu.

Di gerai rokok lantai bawah Plaza Blok M Jakarta, korek ini dijajakan bersama korek biasa. Ternyata peminatnya tak banyak. Kesan saya, pembeli cenderung memilih korek gas biasa. Bahkan sebagian besar tak mengacuhkan korek seksi itu.

Menyangkut materi dewasa, yang melebihi korek ini, Indonesia malah lebih longgar (baca: lebih ngawur) daripada negeri yang permisif. DVD kelas hardcore dijajajakan di kaki lima. Lebih edan lagi, anak bawah umur tetap diladeni.

Di negeri yang permisif tapi punya regulasi jelas, orang dewasa (termasuk penjual) yang membolehkan anak kecil melihat Hustler dianggap melanggar hukum. Semakin berat sajian majalah, semakin khusus perlakuannya — dari pembungkusan yang hanya menampilkan logo, penempatan di rak, sampai jalur distribusi di toko khusus di distrik tertentu.

Di negeri macam itu, penjaga bioskop dan satpamnya akan dipersalahkan kalau membiarkan anak kecil menonton film yang bukan untuk kelompok usianya.

Di sini, jangankan film; untuk games saja banyak orangtua tak hirau pemeringkatan untuk kelompok usia versi ESRB. Padahal boleh saja Indonesia bikin pemeringkatan sendiri, misalnya The Sims 2: Seasons untuk M (mature), bukan T (teen). Adapun RP (rating pending), itu juga pemeringkatan kan? Adakah penjual (bajakan) yang peduli bahwa Grand Theft Auto: San Andreas itu di sononya AO (adults only)?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *