Tali Kutang Lepas di Pasaran

▒ Lama baca 2 menit

PEMBIARAN PEMBAJAKAN OLEH ARTIS LOKAL.

orkes sanjaya badongDalam panas mentari pukul satu siang, lelaki itu berkaraoke campursari. Cukup di trotoar, di depan lapak VCD bajakan. Teliti sebelum membeli. Bernyanyi sebelum bayar VCD. Itulah yang saya lihat di trotoar pertokoan Salatiga, Jawa Tengah.

Saya tak ikut menyanyi karena tak kenal lagunya. Lebih penting lagi: tak kenal si pembeli maupun penjual VCD, lagi pula saya ogah jadi tontonan siang hari. Saya hanya melongok sampul-sampul VCD campursari.

Malamnya, di rumah kakak, barulah saya ngeh, ternyata VCD campursari tak hanya berupa karaoke. Ada rekaman show, dari pentas di desa-desa, sebagai bagian dari hajat pengantin sampai syukuran warga.

Campursari — yang mengaduk dangdut, pop, dan tembang Jawa — dipentaskan dalam pelbagai gaya. Dari yang tenang membosankan sampai atraktif banyak gerak. Apalagi jika ditambahi ramuan house music. Grup yang lagi ngetop misalnya Sanjaya, Exposs, O.M. Pantura, Putra Dewa, Bram, O.M. Prima, dan Sakatto.

Saya teringat pengalaman pertama “mengenal” Inul. Dulu, ketika Inul mulai dikenal, tapi belum menjadi seteru Rhoma Irama, saya belum tahu. Baru ngeh setelah kawan saya memutarkan klip di komputernya. Klip dari sebuah pentas kampung. Melihat goyangnya saya tertawa. Lucu dan hebat, kata saya. Hot, kata teman saya.

Saya dulu juga tak paham ketika lapak Glodok menjajakan VCD “organ tunggal Perbaungan”. Setelah membaca Kompas barulah saya ngeh.

Dari sejumlah keping kemarin saya tahu sosok Trio Macan. Selama ini saya hanya kenal nama, dan lihat tampang mereka di koran, tapi belum pernah melihatnya di TV. Dari footage itu saya melihat sebuah atraksi yang suitsuit-ehm-cegluk-glek hwarakadah dari tiga wanita energetik. Ingatan saya melayang ke Mangga Besar.

“Apa di TV mereka juga berani kayak gitu?” tanya saya.

“O, ndak. Yang di TV itu belum ada apa-apanya,” kata sang pemilik VCD.

Rekaman video itu diambil pada 2005, ketika si trio belum masuk TV nasional, masih ngider dari desa ke desa.

Tontonan meriah itu, siapa pun artisnya, ada yang dipentaskan siang bolong, ada pula yang tengah malam. Bahkan dalam pentas dini hari, tampak bocah-bocah berseliweran di atas panggung, sementara pengantin pria terkantuk-kantuk. Sesekali tampak polisi di sekitar panggung.

Dari sejumlah VCD itu saya paham satu hal. O, bukan. Bukan paham. Tepatnya, saya berprasangka tentang satu hal. Baik si artis maupun label membiarkan pembajakan dokumentasi untuk kepentingan promosional. Tak kenal maka tak ditanggap.

Dokumentasi? Ya. Inilah teks yang tertayang: “Pernikahan Sumadi & Siti Sofiatun, di Rumah Pak Damin, Pengkolrejo, Japah, 31 Mei 2006”. Ada pula “disklaimer”: untuk kalangan terbatas, bukan untuk diperjualbelikan.

Membiarkan pembajakan? Ini bukan hanya prasangka saya, tetapi tuduhan tanpa semena-mena. Yah, saya tak menanya mereka maupun “pengamat”, sehingga ambil kesimpulan mentah semaunya.

Ada saja MC, bagian dari band, yang menyebut klip terdahulu “telah lepas ke pasaran” dengan nada suara — yang menurut kesan saya — mencerminkan kebanggaan.

Bootlegging? Tak sepenuhnya begitu, karena artisnya sadar sedang direkam saat berpentas. Bahkan nama jasa video shooting dan sewa sound system pun tertera, lengkap dengan nomor telepon. Berbeda dari dagangan sok bootleg (katakanlah seperti ELP), artis campursari tak memetik royalti.

VCD campursari yang mementaskan lagu Tragedi Tali Kutang, dalam duet yang penyanyi prianya memainkan bra strap untuk mencandai penyanyi wanita, mengingatkan saya pada cerita tentang pentas rakyat di pedesaan pinggir hutan jati.

Kalimat panjang tadi saya maksudkan untuk menunjuk ronggeng, tayub, dan sejenisnya. Goyang campursari, yang tampaknya tanpa ciu — hanya ada Coke dan Fanta — tinggal meneruskannya. Ada erotisisme, dan masyarakat lokal menenggangnya. Tampak dalam tayangan, beberapa ibu dan nenek ikut menonton.

Setiap masyarakat punya ukuran sendiri apa yang pantas dan sopan secara situasional. Dalam pengandaian saya, goyang ala artis di halaman rumah tanpa ada pesta akan mereka anggap aneh, tak sopan, dan tak menghibur.

Ketika saya mengedit cuplikan video, istri saya hanya tertawa. “Wuihhh… bodinya boleh tuh,” katanya. Kedua anak saya cuma melihat sepintas. “Ah, Bapak…” kata si sulung. Mereka menganggap ini video aneh.

Artis: Suci & Sanjaya • Lagu: Karmila (Farid Hardja) • Acara: Tasyakuran Bapak Sudardji, Randublatung, 12 September 2005

Diambil tanpa izin dari Sanjaya 68
© Ketut Sanjaya & J-Kom Wirosari

Tinggalkan Balasan