BERAPA JUMLAH KALENDER DI RUMAH ANDA?
Ada 34 kalender di dinding kedai masakan cina itu. Separuhnya terpasang tinggi, mendekati plafon.
Entahlah siapa yang setiap bulan harus memanjat meja dan kursi atau tangga A (bahasa Jawa: bè’i) untuk menyobek lembar lama. Ada juga yang hanya perlu disobek dua bulan sekali, tiga bulan sekali, empat bulan sekali, bahkan setahun sekali, bergantung pada jumlah bulan pada setiap lembar. Adapun kalender yang harus disobek saban hari ada di dekat kasir.
Tiga puluh empat kalender di kedai kawasan Mangga Besar, Jakarta, itu mengingatkan saya pada interior umum kedai lama. Liburan kemarin saya menyinggahi beberapa kedai yang dijejali kalender bergambar wanita, panorama, mobil, bunga, dan entah apa lagi.
Dengan kalender sebanyak itu, yang lebih diperhatikan oleh pengunjung adalah gambarnya, bukan penanggalannya.
Pemilik kedai memasangnya untuk menghormati para pemberi. Di beberapa kota, si pemberi berasal dari kota lain. Sebagian dari mereka adalah verkoper, salesmen, detailers, dan sejenisnya.
Awal tahun ini Anda pasti memperoleh kalender, dan biasanya gratis. Ada yang dari toko dan relasi, ada pula yang merupakan bonus majalah. Entahlah, berapa jumlah kalender di rumah Anda — termasuk rumah (atau kantor) yang Anda pondoki.
Awal tahun ini, seperti awal tahun-tahun sebelumnya, saya juga membeli kalender. Apa? Beli? Ya.
Saya menyukai kalender ndesit, tanpa gambar, yang angkanya besar. Ini soal fungsional, semata demi kemudahan baca.
Di tengah kemajuan cetak dan desain grafis, serta ketersediaan kalender vektor gratis siap unduh di internet, kalender ndesit masih bertahan.
Tak banyak warna (biasanya spot), hanya berbahan kertas HVS 70 gram, kalender ndesit itu bagi saya tetap nyeni.
Ketika belum ada desktop publishing, sehingga artwork dikerjakan dengan pemotongan hasil phototype setting dan penyemprotan Spraymount, pengerjaan kalender ndesit — dalam imajinasi saya — adalah latihan yang bagus untuk tukang paste up pemula. Itu belum ditambah pembuatan garis dengan drafting pen yang lazim disebut rapido (yah, Rapido adalah merek selain Rotring dan Staedler).
Apapun jenisnya, kalender kita perlukan untuk menghitung hari. Sejarah mencatat, tingkat peradaban suatu bangsa juga diperlihatkan oleh sistem penanggalan. Setelah memiliki aksara (termasuk angka), manusia membutuhkan cara untuk mencatat waktu dari hari ke hari — tak cukup hanya membedakan pagi, siang, senja, dan malam.
Hari ini, seperti juga kemarin, kalender tak hanya terkemas sebagai kertas untuk dipasang di tembok dan diletakan di atas meja. Kalender juga ada pada arloji, ponsel, dan layar komputer.
Tapi bagaimana menyiasati waktu — bukan mengatur waktu — kita belum selesai belajar. Masih saja kita kedodoran dalam mengatur jadwal yang kita buat. Masih saja kita terlambat menyelesaikan pekerjaan. Bahkan untuk memulai rapat pun masih sering terlambat.
Persoalannya bukan pada waktu, melainkan bagaimana kita memandang waktu dan menilainya.
Kedinian, dalam arti memulai dan menyelesaikan pekerjaan lebih dini, kita anggap bagus. Tepat waktu kita anggap standar. Keterlambatan kita anggap jelek — tapi kita mencintainya, bahkan ketagihan.
Selamat memasuki tahun 2007. Sebuah ucapan yang terlambat, muncul pada minggu kedua Januari. :D
Baca juga: Kalender Diponegoro