Berangkat Gelap Pulang Gelap

▒ Lama baca 2 menit

SERBAKLISE. TAHU-TAHU AYAH JADI BREWOK.

P4: pergi pagi pulang petangSeorang anak heran mengapa kulit ayahnya tetap hitam padahal tak pernah dibakar Matahari. Ayah dan bundanya (yang berkulit terang) berangkat menjelang fajar, saat si bocah masih memeluk guling, dan dalam sisa mimpi dia hanya ditinggali ciuman.

Malam, paling awal pukul setengah delapan, barulah ayahnya tiba di rumah. Bundanya lebih awal, sore menjelang pukul lima sudah tiba. Si bocah berkesimpulan ayahnya takut pada Matahari. Untung dia belum mendengar dongeng salah kaprah tentang Drakula yang takut pada mentari.

Seorang ibu di Jawa Tengah tak habis pikir kenapa anak-anaknya yang bekerja di Jakarta jarang bersua. Anak-anak modern itu mengulang kisah kakeknya waktu kecil, yang berangkat ke sekolah dari desa ke kota saat gelap. Bedanya, si kakek dulu sudah tiba di rumah menjelang magrib.

Ah, cerita klise! Tentang mereka yang bermukim di pinggiran bahkan luar Jakarta. Sama klisenya dengan kakak-beradik di salah satu titik Bodetabek yang hanya bersua saat sarapan.

Saat sarapan pula si mbakyu baru tahu bahwa potongan rambut adiknya sudah berubah — padahal ke salonnya tiga hari lalu. Saat yang sama si adik perempuan juga baru tahu bahwa baju mbakyunya itu anyar — padahal sudah dipakai pekan lalu. Pembantu lebih merasakan perubahan harian penghuni rumah.

Itu semua klise. Sudah lama berlangsung. Sebagian dari pekerja, yang lahir dan tumbuh di Jabodetabek, dibesarkan oleh orangtua yang jarang menyapa Matahari.

Dari tahun ke tahun, sebagian orang berangkat lebih awal — setidaknya lima menit lebih dini — atas nama alasan yang juga klise: menghindari kemacetan.

Pulangnya, dari tahun ke tahun, lebih lambat dengan alasan yang sama klisenya: karena kemacetan. Ada juga calon klise baru: selagi menunggu kemacetan terurai, ya chatting dan blogwalking.

Tak semua orang sanggup membeli rumah maupun apartemen di tengah kota. Terpelanting ke pinggiran adalah sebuah keterpaksaan dan akhirnya ketelanjuran. Pengeluaran (ter)besar adalah untuk transportasi, itu juga cerita klise. Waktu terbesar terbuang di jalan, sehingga makin berkurang waktu untuk membaca, itu sungguh klise.

Yang penting kualitas pertemuan dengan anak, bukan kuantitasnya (durasi dan frekuensi), itu pun dalih superklise. Kenapa suami-istri jarang ketemu dalam keadaan bugar tapi bisa punya anak lebih dari satu, itu juga pertanyaan klise (dari kaum lajang) yang penuh rasa ingin tahu.

Dari yang serbaklise itulah anak-anak tumbuh, dengan pengasuhan yang memohonkan pemakluman. Kalau saja makin banyak anak kecil yang ngeblog, dengan maupun tanpa sepengetahuan orangtuanya, keluh-kesah mereka mungkin akan lebih terdengar. Kalaupun bukan keluhan barangkali ketakjuban: setiap akhir pekan ayahnya sudah agak brewok.

Tapi jika sejak Senin sudah brewok, lantas saat pulang pada akhir pekan sudah klimis (apalagi dengan bau aftershave lotion yang berbeda), ibundalah yang akan takjub. Naluri detektifnya terbangunkan. ;) :D :P

Tinggalkan Balasan