“PUAS KAU! MAIN-MAIN DENGAN ANGGOTA!”
Rudy Gunawan, salah satu juragan GagasMedia, diacungi pistol oleh seorang serdadu. Bukan berita baru. Tapi tetap saja kita kesal membacanya. Untung setelah menua Rudy lebih waras. Jika itu terjadi saat dia jauh lebih muda, bukan tidak mungkin si serdadu dia lawan habis-habisan.
Pekan lalu, ketika memasuki jalan searah di kompleks saya, sebuah mobil tenang saja melawan arus. Pengemudinya dua serdadu, tak mau mengalah. Saya yang akhirnya mundur, sambil menunjukkan rambu verboden kepada mereka.
Beberapa kali saya ter(h)alang oleh mobil tentara yang melaju pelan — 60 kpj bahkan kurang — di lajur kanan jalan tol. Saya pernah diacungi kepalan tangan ketika meminta jalan.
Memang, tak semua serdadu dan polisi berlaku lajak. Dengan atau tanpa istilah aneh “oknum” untuk memisahkan anggota dari standar perilaku ideal korpsnya, toh tetap ada serdadu yang santun, tidak mentang-mentang.
Kata “oknum” cukup diterima oleh masyarakat karena mereka menoleransi keengganan korps apa pun (bukan hanya tentara) untuk bertanggung jawab atas perilaku anggotanya yang mengatasnamakan korps.
Mungkin korps tertentu (termasuk tentara) menyadari keunikan bahasa masyarakat dan sebagian media. Tanpa keterangan jumlah — dari “seorang” sampai “beberapa” dan “(sejumlah) 123 bintara” — sama saja menganggap keseluruhan korps telah melakukan sesuatu.
Maka kalimat “serdadu memukuli petani” boleh atau akan diartikan “semua serdadu memukuli semua petani”. Lebih bersahabat bila penutur memakai “oknum serdadu memukuli petani” — tak penting berapa jumlah serdadu maupun petaninya, yang penting ekonomi kata tercapai. :D
Kembali ke laku lajak. Kenapa bisa begitu? Sebagian orang bilang, itu karena si lajak merasa sebagai bagian dari kekuatan bersenjata, jadi boleh apa saja.
Tentu pendapat tadi boleh dikoreksi. Di beberapa negeri, menjadi anggota angkatan bersenjata bukanlah pembenar untuk semaunya.
Jangan-jangan di sini masalahnya: tergantung pada pola hubungan sipil dan militer. Tepatnya, seberapa panjang militer punya sejarah mengontrol banyak aspek kehidupan di luar tangsi. Jika sepatu lars dan pistol telanjur dibiasakan sebagai solusi, maka eksesnya akan sampai di mana-mana, termasuk yang menimpa Rudy.
Dari mana memperbaikinya? Antara lain ya melalui rekrutmen sambil memperbaiki yang di dalam. Rekrutmen mencakup semua tingkat, dari calon prajurit (keren lho: private first class) sampai calon perwira (kenapa top brass, kan ada yang pakai emas?).