SEPELE, BUKAN BARU, TAPI TAK DITERAPKAN SECARA LUAS.
Jadi orang kaya itu enak, kata seseorang. Alasannya? Sepatunya lebih awet. Alas kaki tak kecapaian menempuh jarak. Berangkat dari carport, turun di teras lobi. Lucu tapi benar.
Saya punya teman. Dia bukan tergolong pria metroseksual, tapi sangat hirau penampilan. Cara menilai kondisi ekonomi pria lain yang baru pertama kali dia temui adalah dari sepatunya. Dia tak menjelaskan apa saja titik amatannya, “Tapi gue bisa nyimpulin.”
Saya? Sepatu saya bulukan karena banyak jalan kaki. Itulah sebabnya saya sering sok memperjuangkan kepentingan pejalan kaki dalam tulisan.
Yang jadi masalah untuk umumnya sepatu sebetulnya bagian dalam, yaitu bau. Apalagi untuk jenis sepatu mokasin dan sejenisnya yang tak menuntut kaus kaki. Jika ditambah kebiasaan melepas alas kaki, maka kemungkinan keringat bertemu debu akan lebih sering.
Untunglah ada sepatu butut saya, mereknya biasa saja, yang pelapis dalamnya bisa dicuci. Luarnya busuk, tapi dalamnya nyaman.
Pelapis bawaan pabrik itu boleh jadi termasuk desain industri yang dilindungi paten. Tapi masa sih prinsipnya tidak bisa dicontek? Cuma karet sintetis berlapis kain sintetis berlubang saja kok.
Memang pelapis sejenis — lebih jelek kualitasnya — dijual di toko sepatu dan toko obat semacam Century dan Guardian. Tapi pembeli harus memotongnya agar pas dengan ukuran sepatu. Kerepotan lain: kadang bahannya terlalu tebal, bahkan karet sintetisnya bisa menempel ke sepatu.
Untuk sol sepatu, para perajin tinggal beli. Andaikan pelapis dalam (yang bisa dicuci) juga terpaketkan, konsumen sepatu akan diuntungkan.
Teknologi dikembangkan agar kehidupan kian nyaman. Tapi mengapa barang sepele semacam pelapis yang “cuciable” ini sulit diterapkan? Kalau diproduksi massal kan jatuhnya murah.