AKU DITULIS (DAN DIPASANG) MAKA AKU ADA.
Ketika formalisasi oleh negara adalah segalanya — apa lagi dahulu kala — maka papan nama lembaga adalah pengabsah kehadiran. Apakah lembaganya berfungsi sesuai visi dan misi, itu soal lain. Juga tak masalah apakah yang namanya “gerakan” itu bersifat ad hoc atau permanen. Yang penting ada papan nama, ada pengurus — dan semoga juga ada anggaran.
Taruh kata soal fungsi sudah beres, karena masyarakat sudah merasakan manpangat, maslahat, maupun khasiatnya (emang jamu?), masih ada satu soal lagi. Apa? Ya bentuk dan peletakan papan nama itu sendiri. Estetika, termasuk tipografi, mestinya ikut dipertimbangkan.
Ada baiknya gedung pemerintah belajar dari gedung swasta, yang menata papan nama penyewa gedung sebagai bagian dari signage yang selaras dengan arsitektur. Jangan seperti kantor kelurahan zaman dulu dengan jejeran papan nama menutupi tampang gedung. Ada merek kelurahan, ada Dharma Wanita, ada PKK, ada AMPI, ada LKMD, ada Klompencapir dan entah apa lagi.
Yah, ibarat satu gedung dengan banyak tenants, begitulah. Tapi cobalah masuk ke kantor kelurahan macam itu dan carilah pengurus setiap organisasi, minimal tenaga sekretariat. Belum tentu ada yang mangkal — kecuali saat kunjungan pejabat.