↻ Lama baca 2 menit ↬

TERGANTUNG PADA KEPENTINGAN!

bangku belakang kosong

Boleh tahu, Anda sering duduk di deratan kursi depan, tengah, atau belakang? Jawaban Anda mungkin, “Tergantung acaranya, siapa yang punya gawe, apa status kita…”

Jika merasa berada di lingkungan asing, sebagian dari kita akan menghindari kursi depan — kecuali datang belakangan dan digiring ke depan oleh panitia karena kursi tengah dan belakang sudah terisi pantat.

Memilih duduk di depan, padahal di belakang masih longgar, adalah risiko. Diihat banyak orang, diamati dengan bisik-bisik, tertangkap oleh kamera, ditatap oleh pembicara, ditanyai oleh MC untuk menghidupkan suasana, dan entah apa lagi.

Tentu tak selamanya begitu. Jika menyangkut tontonan menarik, maka orang akan berebut maju. Berebut di depan juga berlaku untuk workshop yang mengasyikkan, apa lagi kalau gratis.

Bagaimana dengan konferensi pers? Tergantung. Kalau topiknya garing, dan asing, mana acaranya dingin pula, sudah begitu kelayakan beritanya rendah, sebagian reporter akan memilih di tengah dan belakang, sambil berharap acara segera usai. Tapi untuk jumpa pers tentang pengumuman cerai sepasang pesohor, tak ada alasan untuk duduk di belakang bagi reporter desk hiburan maupun (apa lagi) “infotainment“. Mereka akan berebut untuk bertanya.

Lain lagi pertemuan orangtua murid di sekolah. Yang lebih dulu terisi adalah kursi tengah dan belakang. Bagi sebagian orang, duduk di depan seperti menjadikan diri sebagai orang penting, bakal bersanding dengan ketua yayasan dan pengurus wadah perwakilan ortu.

Begitu pula di gereja. Kalau tak terbiasa ikut kebaktian atau misa di situ, pendatang baru akan memilih tengah atau belakang. Ada sih alasannya, “Siapa tahu bangkunya nggak dikasih tulisan, padahal yang di depan itu buat paduan suara atau orang yang akan dibaptis…”

Untuk pertemuan besar internal di kantor, kursi terdepan juga cenderung dihindari karena deretan itu biasanya untuk para petinggi. Tapi kalau duduk di barisan kedua dari depan, kita akan terpisah dari sejawat yang setingkat, bahkan akan diledek, “Mau dekat bos ya?”

Untuk acara besar dengan usher atau among tamu, soal di mana duduk sudah jelas. Jika deret kursi depan, bahkan sampai dua baris, bentuknya lebih mewah, maka orang lain akan tahu diri.

Aha, beberapa waktu lalu saya membaca berita lucu. Seorang (bakal) calon gubernur DKI menempel terus seorang ketua partai dalam sebuah acara tingkat cabang. Pak Maunyajadikandidat merengut, bahkan sempat enggan, saat diminta berpindah karena kursi di kanan-kiri Bu Ketua itu untuk pengurus partai.

Bagaimana dengan sekolah dan kuliah? Saya dulu sering memilih bangku terdepan, pada bagian yang mepet tembok supaya tak menutupi anak di belakang, bila perlu dekat meja guru.

Yah, itu untuk menutupi kekurangan saya. Kalau di belakang, saya tergoda untuk ngobrol, bercanda, menggambar, atau… tidur. Oh ya, sekalian menghindari godaan untuk nyontek maupun… dimintai contekan.

Dalam beberapa kasus, ternyata beberapa guru mengabaikan anak yang di pojok depan dekat mejanya. Pak Guru dan Bu Guru cenderung menanyai anak yang di tengah dan belakang, terutama yang bodoh dan atau nakal. Artinya yang di depan bisa mengisi TTS, menggambar, bikin selebaran lucu, atau… tidur!

Tapi saya pernah punya dosen sontoloyo. Yang boleh duduk di depan hanya cewek. Dia mewajibkan setiap mahasiswi untuk berlipstik. Kabarnya, ketika mengajar di kampus lain, seorang biarawati yang jadi mahasiswinya pun terpaksa pakai lipstik.

Persoalan di mana duduk menyangkut perasaan aman dan tak aman, juga sesuai kepentingan. Itu tak hanya berlaku untuk anak-anak. Orang dewasa pun begitu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *