↻ Lama baca 2 menit ↬

PERUT KITA ADALAH KUBURAN.

kedai swikee

kodokKedai kwetiau sapi memasang gambar besar sapi pada papan namanya. Warung tenda masakan sari laut memasang gambar ikan pada kain penutupnya. Resto masakan reptil di Mangga Besar, Jakarta Barat, memasang relief kobra dan biawak pada tembok luarnya.

Mereka masih memerlukan gambar untuk menyampaikan pesan. Begitu pula penjual swike di Kebonjeruk, Jakarta (enak, ini cabangnya yang di Jalan Biak): memasang patung kodok dalam kerangkeng.

Apakah gambar sapi, gambar ikan, relief biawak, dan patung kodok itu sama saja kesannya? Beda kepala beda pendapat, beda hati beda rasa.

Bagi penyayang binatang yang juga vegetarian, mungkin kesannya sama: alangkah kejamnya manusia, tega menyantap sesama makhluk hidup. Dulu keluarga Paul dan Linda McCartney menjadi vegetarian setelah mereka menyantap daging domba pada suatu siang sambil memandang sekawanan domba berlarian di rerumputan.

Tapi bagi banyak orang bisa saja persoalannya sederhana: manusia memang omnivora. Dalam ungkapan teman saya, “Untuk itulah kita punya taring.” Dan saya pun bertanya, apakah gigi taring manusia itu hasil evolusi?

Adapun seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di Jakarta selalu menanya pola makan pasiennya, lantas dia menganjurkan mereka agar banyak makan sayur, bahkan kalau bisa menjadi vegetarian, demi kesehatan kulit.

Inilah kalimat sakti sang dermatolog, “Macan itu kalau makan daun, keluarnya ya daun, karena ususnya pendek. Kita, manusia, punya usus lebih panjang. Makanan diolah di dalam lebih lama. Kalau Saudara banyak makan daging, bayangkan apa saja yang ada dalam perut, padahal itu belum tentu bagus untuk kesehatan.”

Ah, saya ingat ungkapan vegetarian: perut kita adalah kuburan.

Saya bukan vegetarian. Tapi kadang saya membatin alangkah kejamnya kita ketika bersantap di rumah makan berkolam atau berakuarium. Kitalah yang memilih mangsa kita selagi ikan-ikan itu masih hidup. Sama seperti memilih kepiting hidup (bertelur pula) di kedai sari laut.

Dengan jarak waktu dan tempat yang lebih panjang — yaitu dari memilih ikan dan memasak lalu menyantapnya — hal sama terjadi saat kita berbelanja ikan air tawar di pasar swalayan. Kita memang pemangsa.

Tapi, ahhh itu tak terlalu mengganggu. Cuma lamunan gombal. Sama gombalnya ketika saya menyantap bebek panggang sambil membayangkan Paman Donal — padahal sesama paman tak boleh saling makan, kan?

Meskipun begitu ada hal yang lebih mengganggu. Apa? Dulu di Cililitan, Jakarta Timur, ada beberapa warung penjual daging anjing. Tubuh anjing yang sudah dikuliti (tentu sudah mati) itu ditaruh dalam posisi seperti sedang duduk, di bawah timbangan gantung, menantikan pembeli. Tak tega saya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *