↻ Lama baca 2 menit ↬

KALAU SAJA TAK PERLU BAYAR UNTUK MENEBUSNYA…

Hadiah berupa Honda Jazz itu sudah masuk ke Balai Lelang di Cibitung, Bekasi. Maka Pak Marjaman, si pengirim pemberitahuan, pagi tadi mempersilakan orang yang mengaku sebagai penerima surat untuk mengontak pejabat lelang yang bernama Haji Wahjudi Wardojo di 0815 8429 0098.

Pak Wahjudi bilang, lelang akan dimulai pukul 9.30 — artinya sekitar tiga perempat jam lagi. Tapi mobil masih bisa diselamatkan asalkan setor duit Rp 3,5 juta ke rekening BCA 2910284285. Ahhhh… basi?

Ya. Basi banget. Sudah jadi pengetahuan umum. Tapi tetap saja menarik karena percakapan via telepon itu disiarkan secara langsung dalam talk show Kang Ebet yang sangat Kadarusman di Ramako tadi pagi.

Orang di studio menelepon si penipu. Yang ditelepon tampaknya tidak tahu dirinya sudah on air. Pendengar mengikuti gombalan si penipu. Yang belum pernah mengalami bisa menyimak bagaimana komunikasi itu berlangsung.

Andaikan cara serupa dilakukan oleh stasiun TV, kayaknya ada kemungkinan orang yang dijebak segera sadar karena jangkauan TV lebih luas daripada radio yang berjaringan sekalipun. Emang sih, stasiun TV bukan cuma TVRI kayak dulu, tapi kemungkinan si penipu jadi tahu tampaknya lebih besar.

Lantas? Persoalan ini bisa dibelokkan ke etika penyiaran. Andaikan itu berita, bukan obrolan yang disiarkan kepada khalayak, bolehkah menjebak orang dan melanggar asas praduga tak bersalah maupun privasi dengan mengumumkan nomor ponsel maupun nomor rekening?

Gugatan yang sama berlaku untuk posting ini. Tapi saya siap mempertanggungjawabkannya, karena sebelum menulis ini saya sudah mengontak Wahjudi dengan mengaku sebagai pemenang. Jawabannya seperti dalam talk show cap OKE itu.

Ya, saya memang tak menempuh sebuah prosedur jurnalistik yang mensyaratkan keterbukaan saat mewawancara dan penghormatan terhadap keberatan narasumber untuk dikutip. Yang saya lakukan memang gombal.

Nah, kembali ke penipu itu ya. Sadar dijebak atau tidak, tampaknya mereka tak akan kapok — bisa jadi malah akan memperkaya kiat. Toh nomor telepon bisa ganti kapan saja, dan registrasi kartu perdana sejauh ini kan bisa dibikin main-main. Yang kasihan adalah orang yang menerima hibah nomor itu.

Jadi di mana akar masalahnya? Masih ada penyelenggara promosi berhadiah yang membebankan pajak undian (dan bea balik nama untuk mobil) kepada konsumen. Kalau mobil tinggal terima bersih, on the road, tinggal distarter lalu rhengggg… tampaknya jurus tipuan akan mentok.

Selama masih ada pembebanan pajak dan bea balik nama kepada konsumen, maka penipu akan selalu punya cara untuk mencatut. Bila perlu memanfaatkan undian tak berhadiah mobil untuk menggombali.

Nah, ketika sampai pada catut-mencatut, saya mendapati sejumlah lubang dalam penanganan kartu pos undian maupun kupon. Untuk kartu pos, ada saja yang bocor — baik sebelum sampai ke penyelenggara maupun setelah tiba di penyelenggara.

Pelibatan pihak independen, misalnya notaris dan (kalau ada) akuntan publik, dalam pengundian tampaknya tak sampai pada cara penanganan kartu pos dan kupon. Kewenangan mereka lebih pada bagaimana fairness berlangsung dalam pengundian.

Kantor saya pernah kena catut, sampai saya melapor ke polisi segala. Kawanan penipu memotong amplop atau kartu pos yang memuat nama pengirim, lantas menjadikan potongan itu sebagai tempelan dalam surat panggilan fiktif. Si penerima akan yakin karena (seolah) otentisitas terjamin.

Cara serupa dilakukan untuk kupon undian (Carrefour). Kali itu saya bukan menjadi si tercatut, melainkan sasaran. Tentu saja langsung saya robek dan buang.

Saya pernah berbicara via telepon dengan pencatut kantor saya. Mulanya saya mengaku sebagai pemenang, kemudian buka kartu sekalian.

Saya tetap bertutur kata sopan dan lunak, termasuk ketika menanya apakah tidak ada cara yang bermartabat, yang takkan mempermalukan bini dan anak, dalam mencari uang.

Jawabannya, setelah tertawa-tawa, adalah tantangan kepada saya untuk memperkarakan dia. Lebih galakan dia daripada saya.

Terbayang oleh saya derita dan kekesalan sejumlah korban, yang kadang untuk menebus “biaya pembatalan lelang” dan “pajak” harus meminjam kanan-kiri-depan-belakang… Nasihat seperti “makanya jangan kemaruk” hanya akan menambah luka.

Foto: Mytho88 • CC BY-SA 3.0, pemutakhiran Sabtu (7/12/2019)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *