KITA BUTUH INFO PENDUKUNG YANG MUDAH DIAKSES
“Dia tuh kalo pulang kampung bikin kejuaraan voli. Hadiahnya kambing dan Piala Slamet. Dia juga bagi-bagi buku tulis yang ada foto dan tanda tangan dia. Entar balai desa dikasih nama Balai Slamet….”
Si terledek, bernama Slamet, dengan terbahak akan menambahi, “Semua murid SD di sana bisa menjawab soal ulangan siapa pelopor perantau. Tak lain dan tak bukan ya Slamet. Tepatnya Pak Slamet! Namanya juga pahalawan, layak dong dapet pahala. Slamet adalah simbol kegigihan dan kemujuran. Anak yang belum sekolah ngira presidennya bernama Slamet!”
Sepaket kriteria telah terlontarkan untuk menggolongkan pahlawan dan kepahlawanan. Sebuah guyon ultragaring superbasbang untuk ukuran sekarang.
Jika menyangkut piala dan foto diri pada media promosi, sekarang sih barang biasa. Lihat saja pemilihan kepala daerah. Tapi dulu, ketika kepala daerah didrop dari kekuasaan yang lebih tinggi, tanpa pemilihan langsung, maka pemialaan diri dan penyebaran foto diri yang dilakukan orang biasa akan dianggap kelewatan karena menyalahi kultur politik.
Jadi, apa dong kriteria kepahlawanan? Jika menyangkut gelar pahlawan nasional, maka guru besar ilmu sejarah Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S. punya cerita.
Yang belum jelas adalah tata cara pengabadian nama seseorang untuk tempat dan fasilitas umum, misalnya penamaan jalan, rumah sakit, dan terminal. Pengandaian saya, tokoh yang diabadikan punya jasa besar.
Di Salatiga ada Jalan Osa Maliki, menggantikan Jalan Andong (lafal Jawa: nama pohon — bedakan dari andhong yang sejenis delman), jalan sepanjang dua kilometeran. Di Semarang ada RS Dokter Karyadi (RSUP, dulunya bernama Belanda CBZ). Di Muntilan ada Terminal Bus Doktorandus Prayitno.
Namanya juga pengabadian, jadi akan lebih baik jika publik juga diingatkan siapa gerangan si tokoh. Untuk Dokter Karyadi, kalau saya tak salah, adalah dokter yang pada masa revolusi menyelamatkan warga Semarang dari rencana peracunan penampungan air ledeng.
Untuk Osa Maliki, kalau saya tak keliru, adalah nama tokoh PNI, pernah menjadi wakil ketua MPRS, yang meninggal di Salatiga. Di kota lain, setahu saya, tak ada nama jalan itu. Sedangkan siapa Drs. Prayitno, saya kurang tahu.
Tantangan bagi setiap situs pemerintah daerah, dan juga Wikipedia Indonesia, untuk memasukkan keterangan itu. Juga tugas pengelola situs perguruan tinggi negeri untuk menjelaskan siapa tokoh yang diabadikan untuk nama gedung dan ruang.
Pengabadian akan semakin lengkap jika didukung informasi yang dapat diakses setiap saat.