Aku Rela Disalahkan…

▒ Lama baca 2 menit

KETIKA IPS JADI MEMBINGUNGKAN.

Siaran TV bekerja dengan gelombang apa: longitudinal, transversal, elektrolit, atau elektromagnetik? Itulah pertanyaan dalam buku IPS untuk anak kelas 4 SD. Siang ini anak saya harus mengebut lima halaman soal, yang diberikan Sabtu kemarin. Anehnya semuanya belum diajarkan.

Inilah yang namanya pekerjaan rumah: seisi rumah harus terlibat. Akhir pekan anak tak dapat bersantai. Kalau diajak pergi, padahal PR belum beres, dia akan gelisah.

Keponakan saya pernah bersekolah di negeri maju. PR untuk sepekan ya cuma sehalaman kuarto. Pelajaran kelas 4 di sini, termasuk matematika, adalah pelajaran untuk kelas 6 di sana.

Pulang ke Indonesia, dia menjadi “bodoh” karena tertinggal. Anehnya, meskipun kurikula persekolahan lebih berat, Indonesia tak kunjung menjadi negara yang lebih maju. Anak-anak kita sebaiknya diperiksa ahli tulang karena ransel hariannya berat.

Kembali ke PR anak saya Raras. Dari sebuah skema bergambar bumi dan satelit, anak diminta menjelaskan proses teknis. Terbukti, saya memang manusia Indonesia lawas: ketinggalan zaman. Saya menganggap pelajaran macam itu — dari transmisi faksimile, selular, sampai uplink dan downlink — mestinya bagian dari IPA, bukan IPS.

Dalam pengandaian saya IPS mestinya mengajarkan apa keunggulan dan kekurangan kentongan, telepon, faksimile, dan internet dalam kehidupan. Dalam pengandaian ekstrem saya, apa itu binatang bernama backbone biarlah menjadi bagian dari pelajaran lain.

PR adalah pekerjaan rumah. Artinya ayah harus terlibat, bukan cuma berbagi bekal kognitif tapi ada yang lebih penting lagi: memahami apa itu pendidikan.

Saya membantu anak saya sambil ngedumel ke istri saya, “Materi belum diajarkan dijadiin PR. Udah gitu yang mestinya IPA dijadiin IPS.”

Anak saya cuma menarik napas, “Iya tuh.” Dia tak menjadi bersemangat untuk menyalahkan guru dan sekolah — sebuah peluang yang mungkin akan saya sambar saat saya bocah, karena diberi angin bahkan dukungan oleh orangtua.

Soal skema satelit tadi saya lompati, agar Raras mengerjakan nomor berikutnya. Setelah nomor terakhir cuma soal satelit itu, saya diam sebentar untuk merumuskan kalimat yang sederhana sesuai anak SD. Menyampaikankan hal sulit secara sederhana, termasuk ihwal iptek, yang jargon-free, itu bukan pekerjaan gampang (bagi saya).

Selagi saya merancang kalimat, Raras bilang, “Kalo nggak bisa nggak apa-apa kok, Pak. Aku rela disalahin.”

Saya terharu. Sorot mata korban kurikulum itu begitu polosnya, tanpa mata berkaca-kaca.

Setelah dia kembali ke kamarnya, saya mengajak istri saya mendiskusikan hal tadi. Bukan cuma mengapa soal IPA ada di IPS, juga bukan hanya mengapa materi belum diajarkan sudah di-PR-kan, melainkan soal yang lebih mendasar: bijaksanakah orangtua ngedumel soal sekolah dan guru di depan anak?

Para guru juga merupakan korban dari kurikula.

Tinggalkan Balasan