KEREPOTAN SAAT BERTAMU (DAN DITAMUI).
“Kapan dan di mana saat bertamu kita harus melepas sepatu atau sandal?”
Anda bisa menganggap ini pertanyaan naif. Tapi maklumilah jika itu ditanyakan oleh orang asing yang belum pernah ke Indonesia.
Tentu banyak jawaban. Antara lain: tergantung pada tuan rumah, apakah dia beralas kaki atau tidak. Bisa juga: apakah tuan rumah, atas nama kesopanan maupun memang senyatanya, melarang tamunya melepas alas kaki.
Tapi yang namanya penanya kadang memang kritis: “Kalau pintu belum dibukakan, apakah kita bisa menduga harus melepas sepatu atau tidak?”
Saya punya jawaban ngawur: “Lihat dulu, apakah di teras atau depan pintu ada sandal dan sepatu. Kalau ada, berarti di rumah itu terbiasa melepas sandal dan sepatu.”
Untung tak ada sanggahan, “Kalau di depan pintu tak ada sandal, tetapi pemilik rumah tak bersandal, lantas bagaimana?”
Yah, beda rumah beda aturan. Bahkan dalam sebuah rumah, ada penghuninya yang terus bersandal, ada pula yang selalu bertelanjang kaki dengan alasan lebih adem.
Paling enak tampaknya bertandang pakai sandal, supaya gampang dan cepat melepasnya. Melepaskan sepatu boot atau sneakers bertali, jelas tak mudah — apalagi ditambah melepas kaos kaki. Saya ralat: melepasnya tak serepot memakainya kembali.
Hal sama berlaku untuk wanita yang memakai sepatu sandal bertali kancing (apa lagi stiletto): membungkuk, apalagi ndeprok, saat pamitan jelas tak nyaman — apa lagi berdiri dengan satu kaki, sementarta kaki lain dilipat agar tergapai tangan.
Mau lepas sandal atau sepatu, kalau tamu lebih dari satu berarti pintu dan teras akan jadi parkiran alas kaki.
Teman saya yakin dengan satu soal ini: “Kalo rumahnya bagus dan gede, kita nggak perlu lepas alas kaki, kecuali kita datang untuk lesehan.”
Ada lagi yang berprinsip: “Selama alas kaki nggak kotor, misalnya kena lumpur atau hujan, nggak akan saya lepas. Kalo harus melepas, mendingan saya dari rumah nyetir tanpa alas kaki. Lagian apa fungsinya keset?”
Kalau saya tak keliru, kebiasaan melepas alas kaki mulai ada ketika banyak rumah berubin tegel dan kemudian berlantai keramik. Juga mulai meluas ketika banyak rumah, dan pondokan, memakai karpet. Saya kurang tahu bagaimana kebiasaan di rumah panggung berlantai papan.
Dulu, di kantor superlama, para penjual makanan atau minuman ketika mengantarkan pesanan selalu melepas sandal. “Ini kantor, bukan rumah Pak Lurah. Nggak usah dilepas,” kata seseorang.